Equilibrium Annual Activity atau yang biasa disebut dengan Equality telah usai digelar pada hari Minggu, 20 September 2015. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Equilibrium FEB UGM ini berlangsung pada tanggal 18-20 September 2015 di Museum UGM dan Perpustakaan Pusat UGM. Pada tahun ini, Equality mengangkat tema “Mengungkap Ekonomi Yogyakarta” dan menyajikannya dalam tiga bentuk acara berbeda : Permadi (Perbincangan Mahakarya dan Diskusi) , Seruni (Serambi Rupa dan Seni), dan Delima (Demo dan Pelatihan Pers Mahasiswa).
Acara Equality mengemas Permadi ke dalam dua bagian : music talk dan talkshow mengenai industri perfilman Indonesia yang diselenggarakan pada waktu yang berbeda . Music talk diselenggarakan pada tanggal 18 September 2015 dengan mengangkat tema “Quo Vadis Musisi? Hobi atau Profesi” sebagai reaksi dari munculnya permasalahan di era musik digital yang mempengaruhi pemasukan para musisi Indonesia. Diskusi ini menghadirkan pembicara Rahayu Kertawiguna (CEO Nagaswara), Rika Fatimah (Dosen FEB UGM) dan Gardika Gigih Pradipta (Komposer muda).
Sebagai badan pers mahasiswa, Equality 2015 juga menyelenggarakan Delima sebagai bentuk edukasi kepada sesama pers mahasiswa di Yogyakarta. Delima berlangsung di Perpustakaan Pusat UGM lantai 2 dan menghadirkan Agung Purwandono (Redaktur Kedaulatan Rakyat), Putri Arum Sari, dan Bima Baskara Sakti (Staff Penelitian dan Pengembangan Kompas).
Pada saat yang bersamaan, Seruni juga diadakan selama tiga hari berturut-turut di Museum UGM. Boadicea, Gendhis, Molay, Ace House, Easy Tiger, dan Mes56 adalah sederetan nama artworkers yang menghiasi ruang-ruang Museum UGM.Pameran ini berhasil menyedot hampir 300 pengunjung dan mendapat sambutan positif dari banyak pihak.
Sementara itu, Permadi kedua dalam bentuk talkshow, diselenggarakan pada tanggal 20 September 2015 dengan tajuk “Status Quo Industri Perfilman Indonesia”. Pada kesempatan tersebut turut hadir sebagai pembicara; Fajar Nugros (sutradara “Refrain”), Ajish Dibyo (line producer “Soekarno), dan Senoaji Julius (Dosen Jogja Film Academy dan scriptwriter). Talkshow ini sekaligus menjadi penutup rangkaian EQUALITY 2015.
Dalam diskusi tersebut Senoaji Julius mengungkapkan bahwa dalam industri perfilman Indonesia terdapat efek domino. Maksudnya adalah tipe bioskop dan penyebarannya berpengaruh besar pada segmentasi penonton bioskop. Ia pun kurang setuju jika keberadaan film Indonesia yang kebanyakan bengenre horor, komedi, dan drama merupakan selera mayoritas masyarakat Indonesia.
Sependapat dengan Senoaji, Ajish Dibyo juga mengatakan bahwa ada dua poin penting yang menjadi permasalahan industri film Indonesia. Menurutnya, ketika berbicara tentang industri film, lembaga ekonomi negara seharusnya juga ikut terlibat. Namun kenyataannya perhatian pemerintah sangat kurang, bahkan film dianggap investasi yang negatif. Kemudian Ajish juga menuturkan bahwa tantangan dalam membuat film justru bukanlah dalam hal teknis, “Permasalahan terbesarnya adalah bagaimana membawa menonton film Indonesia menjadi sebuah culture,” ujarnya.
(Ulayya Gempur Tirani, Revina Putri Utami/EQ)