Terjebak di dalam fananya buana bersamamu
Menatap gempitanya dunia di balik gulitanya realita
Realita tambung, buta hati, dan berang
Masih lekat roman tabah mu di anganku kala itu
Potret yang selalu hinggap di kala khali menyergap
Aku ingat kala itu
Tatkala sedu meyambangimu dan menyingkirkan potret itu
Dengan berat kau berujar kan bertolak ke sebuah negri
Negri entah berantah yang katanya menabur batu boleh jadi aurum
Bertolaklah engkau berbekal gulana
Berhajat asa kan berbuah manis
Tak jemu ku kira musim
Tak jelak pula ku menanti uritamu
Hingga akhirnya sebuah kapal berlabuh
Ku berharap itu engkau
Engkau yang lama ku nanti
Engkau yang ku rindukan
Namun suratan berbantah
Yang ku jumpai hanyalah seonggok warkat
Warkat yang tegas dialamatkan padaku
Di dalamnya engkau berujar, “Sabarlah, kita kan bersua kembali di nirwana, di dunia yang baru.
Dunia yang tak kan mengingkarimu”
Jadi ini penghujung penantianku?
Siang kena panas, malam kena dingin
Hinga lapuk yang menjadi usai
(Hanif Afifah/EQ)