Presiden Joko Widodo telah meresmikan salah satu sumber energi listrik terbarukan Indonesia, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap pada tanggal 2 Juli 2018. Dilansir dari tempo.co, hadirnya pembangkit listrik berkapasitas 75 megawatt ini menobatkan PLTB Sidrap menjadi pembangkit listrik tenaga bayu terbesar di Indonesia saat ini. Bertempat di Provinsi Sulawesi Selatan, PLTB Sidrap menjadi pendukung pasokan listrik di kawasan Indonesia Timur dengan tinggi 80 meter dan jumlah 30 kincir angin.
Keberadaan PLTB Sidrap laksana angin segar bagi Indonesia dalam upaya menyukseskan prinsip Sustainable Development Goals di sektor energi bersih dan terjangkau. Adanya pembangkit listrik ini memicu pertumbuhan aktivitas di kawasan tersebut, tidak hanya di sektor kelistrikan, tetapi juga menjadi daya tarik wisata, konservasi alam, serta pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari produktivitas masyarakat yang meningkat. PLTB Sidrap juga merupakan salah satu sarana pemerintah dalam membuka akses listrik di wilayah terdepan yang terisolasi lewat sumber energi terbarukan.
Di era saat ini, pengembangan energi terbarukan menjadi kunci penting kelestarian alam serta keberlangsungan hidup manusia. Di tengah suplai energi yang masih bertumpu pada sektor batu bara, minyak, dan gas bumi, energi terbarukan memiliki dampak negatif yang kecil terhadap kerusakan lingkungan. Mulai dari pembangkit listrik tenaga bayu, surya, geotermal, sampai pada air, energi terbarukan menghasilkan emisi karbon yang sangat kecil dibanding pembangkit listrik konvensional. Faktanya, bauran energi terbarukan dalam pembangkit listrik di Indonesia sampai dengan November 2017 masih 12,52 persen. Terlebih lagi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan angka emisi karbon Indonesia akan mengalami kenaikan dari 201 juta ton di tahun 2015 menjadi 383 juta ton di tahun 2024 dengan 333 juta ton berasal dari batu bara. Dengan kondisi ini, pengembangan pemanfaatan energi terbarukan mutlak diperlukan dalam meminimalisasi dampak negatif dari emisi karbon yang terjadi, seperti pada cuaca dan iklim, kesehatan, dan pertanian. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia bertekad untuk meraih target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Upaya pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya cukup pada area hulu semata, melainkan juga perlu adanya pembangunan ekosistem energi terbarukan yang ramah lingkungan hingga area hilir. Salah satunya adalah pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Pengembangan ini diinisiasi secara bertahap dimulai dengan adanya kejelasan regulasi mengenai kendaraan listrik di Indonesia yang ditargetkan akan selesai tahun 2019 dan berfungsi sebagai payung hukum pelaksanaan kendaraan listrik di Indonesia. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah memiliki roadmap bagi pengembangan industri otomotif nasional yang mengisyaratkan adanya proses bertahap dari kendaraan konvensional, kemudian mulai dilakukan inseminasi kendaraan Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), seperti hybrid dan plug-in hybrid yang bermesin konvensional sembari menggunakan tenaga listrik dari baterai, dan full electric vehicle yang 100 persen sumber energinya berasal dari listrik. Targetnya, di tahun 2025 produksi mobil listrik telah menyentuh angka 20 persen dari total produksi kendaraan nasional.
Tak hanya terkait kendaraan, upaya konversi kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik yang ramah lingkungan memerlukan adanya fasilitas umum penunjang kendaraan, seperti stasiun penyedia listrik umum (SPLU). Saat ini, SPLU telah tersedia di beberapa wilayah, seperti Jakarta dan Surabaya. Minimnya fasilitas pendukung yang mumpuni ini dapat menyebabkan terjadinya stagnasi bagi upaya konversi kendaraan konvensional menuju kendaraan listrik. Oleh karenanya, diperlukan teknologi yang mutakhir, seperti baterai yang mampu menempuh perjalanan hingga beratus-ratus kilometer.
Guna mempercepat komersialisasi kendaraan hybrid dan listrik ini, pemerintah menyiapkan skema insentif bagi pelaku industri otomotif yang mengembangkan kendaraan listrik. Menurut data yang dipublikasikan Kemenperin tahun 2018, insentif yang akan dikenakan berupa bea masuk yang rendah dan dengan harga yang bergantung pada tipe dan kilowattnya. Insentif dapat diberikan secara bertahap dan disesuaikan dengan komitmen manufaktur yang diterapkan di beberapa sektor industri, seperti insentif atas dasar pembangunan pusat penelitian dan pengembangan komponen motor listrik, baterai, power control unit, dan peningkatan penggunaan komponen lokal. Pemberlakuan insentif ini tentunya merupakan buah koordinasi dengan Kementerian Keuangan serta kementerian dan lembaga terkait. Harapannya, pemanfaatan energi terbarukan semakin masif sehingga mendorong perubahan lingkungan ke arah yang lebih baik dan turut ambil bagian dalam kancah percaturan lingkungan global.
(Afanda Hermawan/EQ)
Discussion about this post