“Setelah 10 tahun pengepungan yang tiada hasil, orang-orang Yunani berusaha mencari cara lain untuk menaklukan Kota Troya. Mereka membangun sebuah patung kuda raksasa, menyembunyikan beberapa prajurit terpilih di dalamnya, dan berpura-pura berlayar pulang ke negeri asalnya. Mengira para penyerang sudah menyerah, orang-orang Troya pun menjadi gembira dan menarik kuda raksasa itu ke kotanya sebagai piala kemenangan. Malam harinya, prajurit-prajurit terpilih Yunani tadi mengendap keluar dari patung kuda raksasa itu dan membuka gerbang kota untuk pasukan Yunani. Esok harinya, Troya dan penduduknya musnah menjadi pecundang bagi kemenangan bangsa Yunani.”- Homer dalam Illiad.
Seolah mendapat kemenangan, nyatanya ada bahaya yang benar-benar mengancam di dalamnya. Fenomena ini dapat digambarkan dengan dunia yang sedang mengalami perkembangan informasi, teknologi, dan komunikasi (IPTEK) yang pesat. Semakin banyak orang tergabung dalam jaringan informasi digital karena akses yang lebih cepat serta inklusif bagi semua. Perkembangan ini juga membuka peluang baru untuk semua orang di segala bidang, seperti perdagangan, kesehatan, pendidikan, dan hiburan. Saat ini, di Indonesia sendiri sudah memiliki 371 juta ponsel (We Are Social, 2017) dengan jumlahnya yang akan terus bertambah. Bahkan, penjualan smartphone pada tahun 2017 saja sudah mencapai 30,4 juta unit (IDC, 2017). Selain itu, penetrasi internet di Indonesia juga sudah menjangkau lebih dari setengah populasi Indonesia, yaitu 143,26 juta orang per 2018 (APJII, 2018). Bagai Kuda Troya yang dianggap sebagai simbol kemenangan dan pencapaian, perkembangan IPTEK dan revolusi digital saat ini ternyata menyimpan bahaya yang mengancam, yaitu E-Waste.
Electronic Waste (E-Waste) atau Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE) adalah bagian yang sudah dianggap oleh pemiliknya sebagai sampah sehingga sudah tidak ada keinginan untuk menggunakanya lagi (Step Initiative, 2014). Hal ini mencakup hampir semua jenis barang rumah tangga dan bisnis yang memiliki sirkuit, komponen elektrik dengan listrik, atau baterai di dalamnya. Sebuah metodologi yang dikembangkan oleh Baldé et al. (2015) menghasilkan definisi yang sangat luas. Definisi ini mencakup 6 kategori: peralatan pendingin dan penghangat, layar dan monitor, lampu, peralatan elektronik besar seperti mesin cuci, peralatan elektronik kecil seperti microwave dan kalkulator, dan alat komunikasi seperti ponsel dan Global Positioning Systems (GPS) (Baldé, 2017). Setiap produk dari 6 kategori e-waste memiliki profil dan masa pakai yang berbeda. Artinya, setiap kategori e-waste memiliki kuantitas, nilai ekonomi, dampak lingkungan, dan efek kesahatan yang berbeda jika diolah secara tidak tepat. Konsekuensinya adalah proses pengumpulan, logistik, dan teknologi yang dipakai menjadi berbeda untuk setiap kategori. Hal yang sama berlaku terhadap perilaku konsumen dalam mendaur-ulang e-waste menurut kategorinya.
Pada tahun 2016, dunia menghasilkan 44,7 juta metrik ton e-waste, atau setara dengan 4.500 menara Eiffel. Dengan jumlah sebesar itu, hanya 20 persen saja yang didaur ulang melalui cara yang tepat. Pengelolaan limbah dan sampah padat konvensional saat ini, termasuk TPA dan pembakaran, bukanlah pilihan yang bijak untuk e-waste. Hal ini dikarenakan sebagian besar e-waste memiliki kandungan dengan risiko lingkungan dan kesehatan yang memprihatinkan, terutama jika tidak ditangani secara tepat. Meskipun 2/3 populasi dunia kini terikat dengan peraturan mengenai e-waste, diperlukan lebih banyak usaha untuk memaksa, menjalankan, dan mendukung lebih banyak negara untuk mengembangkan peraturan mengenai e-waste (Baldé, 2017). Negara-negara maju bukannya memberi contoh dengan mengelola e-waste secara lokal, malah melakukan sebaliknya. Lebih dari antara 50-80 persen total e-waste yang dihasilkan negara-negara maju malah diekspor ke negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India, dan Pakistan (A. Bazargan, 2012).
Menurut UN Environment Programme (UNEP), lebih dari 90 persen E-Waste dunia senilai USD 19 miliar (Rp 226 Triliun) diperdagangkan atau dibuang secara ilegal. Ekspor sampah berbahaya dari negara-negara Uni Eropa dan OECD sebenarnya sudah dilarang. Namun, masih terdapat ribuan ton e-waste yang secara sengaja diekspor sebagai barang bekas dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Salah satu contohnya adalah sampah baterai yang dinyatakan identitasnya sebagai plastik atau serpih logam campuran ketika akan diekspor (Josh Lepawski, 2010).
Dalam perdagangan dan pergerakan lintas batas global untuk sampah yang berbahaya, termasuk e-waste, Konvensi Basel menjadi instrumen utama bagi negara-negara berkembang untuk menuntut keadilan (Malich et al. 1998). Dalam Konvensi Basel, sampah tidak dapat diekspor ke negara yang belum memiliki pengelolaan sampah yang lebih baik. Sampah berbahaya yang ingin dipindahkan antar batas negara juga harus diberitahukan kepada otoritas yang kompeten di negara tersebut. Selain itu, negara pengekspor harus memaksa untuk tidak mengizinkan ada perdagangan atau ekspor sampah yang berbahaya tanpa persetujuan tertulis dari negara importir, begitu pula negara-negara yang digunakan untuk transit.
Banyak negara OECD mendukung adanya sebuah regulasi yang mengatur perdagangan dalam sampah dan limbah berbahaya (termasuk e-waste) seperti Konvensi Basel ini. Namun, negara-negara OECD tetap menolak pelarangan perdagangan internasional sampah secara penuh. Alasannya, mengekspor sebagian sampah ke negara berkembang dapat mendorong kegiatan daur ulang yang jauh lebih baik. Alter (1997) berargumen bahwa daur ulang terhadap sampah industri mendukung konservasi terhadap sumber daya alam, mengurangi permintaan energi dan sampah berbahaya, serta mendorong industri di negara berkembang untuk tumbuh dengan menyediakan bahan mentah. Selain itu, Cortinas de Nova (1996) menyediakan pertimbangan dan skenario terhadap ekspor sampah berbahaya, yaitu potensi kerusakan lingkungan jangka panjang yang disebabkan oleh manajemen sampah di negara penerima. Hal ini menyebabkan pengetatan atas regulasi untuk pembuangan sampah dan penurunan biaya untuk pengolahan dan pembuangan sampah di negara penerima sampah. Maka, negara asal semakin tidak memiliki fasilitas pengelolaan sampah yang baik akibat ketergantungan pada negara penerima sampah (Sangeeta Sonak, 2008).
Salah satu motif pendorong dari adanya perdagangan internasional untuk e-waste sendiri adalah peluang ekonomi. E-waste tidak hanya mengandung zat yang berbahaya, tapi juga material-material berharga, seperi logam. Dengan mengekstrak material berharga ini, keuntungan besar dapat diraih. Karena itu, e-waste dapat dikenali sebagai salah satu sumber daya jika kelayakan ekonomis, kejelasan prosedur teknikal, dan proses yang ramah lingkungan terdapat dalam proses ekstraknya. Menurut The Encyclopedia of Earth, satu metrik ton dari papan sirkuit (circuit board) mengandung antara 80-1500 gram emas dan 160-210 kg copper. Sebagai perbandingan, konsentrasi emas ini 40-800 kali lebih tinggi dibandingkan yang ada dalam tambang emas dan 30-40 kali lebih tunggi dibanding pada tambang copper. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kandungan berharga dari e-waste ini terbagi dalam ukuran yang kecil serta memiliki tantangan teknikal yang sulit dalam proses ekstraksi dan pemanfaatannya kembali (A. Bazargan, 2012). Di beberapa negara seperti Singapura, Korea Selatan, Hongkong SAR (Special Autonomus Region), dan Taiwan, kebijakan untuk menyeleksi kandugan-kandungan tertentu dari e-waste sudah diterapkan agar dapat dimanfaatkan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara-negara berkembang kini mulai menghasikan regulasi dan tata cara untuk meminimalisasi dampak lingkungan dari e-waste. Namun, kebanyakan e-waste diekspor ke negara-negara berkembang melalui cara yang semi-resmi atau tidak sama sekali. Hal ini menyebabkan tidak adanya data statistik resmi yang dapat menunjukan nilai sebenarnya dari e-waste yang diekspor. Memang, saat ini yang ada hanyalah perkiraan dengan preliminary model. Di sisi lain, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi, negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India, dan Nigeria juga ikut menciptakan peningkatan e-waste secara drastis.
Rendahnya tingkat teknologi di negara-negara berkembang pada umumnya, menimbulkan ketidakhadiran infrastuktur dan fasilitas pengelolaan e-waste yang baik. Kebanyakan fasilitas pengelolaan e-waste sendiri digerakkan secara informal dan tanpa pengawasan yang ketat. Sebagai contoh adalah hasil penelitian oleh Yang, et al (2010) yang berlokasi di salah satu pusat pembongkaran e-waste di Taizhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok. Lebih dari dua juta ton e-waste sudah ‘didaur ulang’ untuk menjadi logam selama beberapa dekade (Gu et al 2010 dalam Yang, et al 2011). Diperkirakan lebih dari 60 ribu orang terlibat dalam pembongkaran e-waste di Taizhou. Proses yang digunakan dalam pembongkaran e-waste pun sangat sederhana seperti pembongkaran manual (manual dismantling), pembakaran terbuka (open burning), dan pencucain asam (acid leacing). Hal ini diperburuk dengan tidak adanya fasilitas yang layak untuk kesehatan pekerja dan lingkungan (Fangxing Yang, 2011). Hasil dari penelitian yang dilakukan Koswar, et all (2010) di dua tempat pengelolaan e-waste di Delhi menunjukan hasil yang mengejutkan: lebih dari 75 persen orang yang terlibat dalam kegiatan ini menderita satu atau lebih penyakit lain yang secara langsung dapat dikaitkan dengan hasil daur ulang limbah elektronik yang tidak aman (Ridwana Kowsar, 2010).
Meski penduduk sekitar fasilitas pengelolaan e-waste diuntungkan dengan adanya pemanfaatan dari logam-logam berharga, kebanyakan dari mereka menderita paparan zat berbahaya selama proses daur ulang informal dengan teknologi sederhana (A. Bazargan, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Grant, at all (2013) menunjukan bahwa bahan kimia berbahaya yang tersebar ke populasi sekitar diakibatkan oleh kegiatan daur ulang e-waste informal serta tidak adanya standarisasi. Selain itu, paparan e-waste terhadap bayi neonatal menunjukkan pada perubahan fungsi tiroid, ekspresi dan fungsi seluler, temperamen, perilaku, serta penurunan fungsi paru-paru. Anak laki-laki berusia 8–9 tahun yang tinggal di kota sekitar fasilitas pengelolaan e-waste memiliki kapasitas vital paksa yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal di kota yang terkontrol. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara konsentrasi kromium darah dan kapasitas vital paksa pada anak-anak berusia 11 dan 13 tahun. Terdapat temuan lain dari kebanyakan penelitian atas dampak dari paparan e-waste berupa peningkatan aborsi spontan, kematian bayi dalam kandungan (stillbirth), kelahiran prematur, berat badan lahir, dan tinggi lahir yang lebih rendah. Orang-orang yang tinggal disekitar atau bekerja di fasilitas pengelolaan e-waste memiliki kerusakan DNA yang lebih besar dibanding subjek kontrol. Studi tentang efek paparan e-waste pada fungsi tiroid tidak konsisten. Bahkan, terdapat penelitian mengenai efek paparan e-waste terhadap hasil pendidikan siswa (Kristen Grant, 2013).
Efek kesehatan dari paparan e-waste harus menjadi prioritas komunitas internasional. Daur ulang limbah elektronik secara informal telah lama diterima sebagai sumber pencemaran lingkungan yang berbahaya. Tetapi, risiko kesehatan yang ditimbulkan pada populasi yang terpapar baru mulai diakui. Agenda penelitian internasional harus ditetapkan oleh para ahli untuk meningkatkan bukti atas efek kesehatan dari paparan e-waste, terutama pada populasi yang rentan seperti anak-anak dan wanita yang sedang hamil. Secara bersamaan, komunitas kesehatan internasional, akademisi, ahli kebijakan, dan organisasi non-pemerintah, bersama dengan pemerintah nasional, harus membuat solusi kebijakan, program pendidikan, dan intervensi untuk mengurangi paparan e-waste dan efek kesehatannya.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diketahui pentingnya untuk memikirkan dampak lain dari revolusi digital dan perkembangan IPTEK, yaitu e-waste. Pemerintah, swasta, dan seluruh stakeholder terkait perlu memikirkan lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, literasi digital, atau penjualan alat elektronik. Penanggulangan e-waste dan dampaknya seharusnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua pihak. Maka, diharapkan bahwa tindakan preventif untuk memitigasi serta mencegah dampak yang mungkin dapat muncul dari e-waste dapat dilakukan.
(Irfan Fawwas/EQ)
REFERENCES
A. Bazargan, K. L. G. M., 2012. Challanges and Opportunities of E-Waste Management. Nova Science , pp. 40-65.
APJII, 2018. BULETIN APJII EDISI 22 – MARET 2018, s.l.: APJII.
Baldé, C. P. F. V. G. V. K. R. S. P., 2017. Global E-Waste Monitor 2017, s.l.: United Nations University (UNU), International Telecommunication Union (ITU) & International Solid Waste Association (ISWA), Bonn/Geneva/Vienna.
Fangxing Yang, S. J. Y. X. Y. L., 2011. Comparisons of IL-8, ROS and p53 responses in human lung epithelial cells exposed to two extracts of PM2.5 collected from an e-waste recycling area, China. ENVIRONMENTAL RESEARCH LETTERS, Issue 6 (2011) 024013 (6pp).
IDC, 2017. Quarterly Mobile Phone Tracker 4Q17, s.l.: IDC.
Josh Lepawski, C. M., 2010. Mapping international flows of electronic waste. The Canadian Geographer / Le G´eographe canadien, Volume 2, p. 177–195.
Kristen Grant, F. C. G. P. D. S. M.-N. B. M. N. M. v. d. B. R. E. N., 2013. Health consequences of exposure to e-waste:. Lancet Glob Health 2013;, Volume 1, p. 350–361.
Ridwana Kowsar, P. H. H. P. F. K., 2010. e-Waste and Its Health Impacts. Global Journal of Human Social Science, 10(4 (Ver 1.0)), pp. 88-91.
Sangeeta Sonak, M. S. A. G., 2008. Shipping hazardous waste: Implications for economically developing Countries. International Environ Agreements, Volume 8, p. 143–159.
We Are Social, 2017. Katadata.co.id. [Online]
Available at: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/08/29/pengguna-ponsel-indonesia-mencapai-142-dari-populasi
[Accessed 20 Mei 2018].
Discussion about this post