Oleh Dellana Sasetyo/EQ
Ilustrasi oleh Amir Anugrah/EQ
Segmentasi demografis berdasarkan variabel usia menjadi salah satu strategi pemasaran suatu produk. Anak-anak menjadi salah satu target pemasaran yang memiliki peluang besar untuk mendapatkan keuntungan. Beberapa produk yang sering muncul dengan label untuk anak-anak, antara lain Happy Meal McDonald’s, Chaki Kids Meal KFC, dan Kinder Joy. Selain porsinya yang sesuai dengan porsi makan anak-anak, produk ini juga dilengkapi mainan sebagai fitur tambahan. Terlepas dari dunia makanan, dunia hiburan juga berpotensi meraup angka yang besar dari konten anak-anak. Video Baby Shark ditonton sebanyak 6,24 miliar kali yang membuatnya bertengger di nomor dua video YouTube paling banyak ditonton. Maraknya produk dan konten hiburan untuk anak yang laku di pasar menjadikan keberadaan mereka sebagai konsumen tidak bisa diremehkan begitu saja.
Anak-Anak, Konsumsi dan Target Penjualan
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa batasan usia untuk anak-anak adalah maksimal 19 tahun. Citra anak-anak di usia ini yang identik dengan hidup bergantung pada orang tua dengan uang jajan sebagai penghasilan, ternyata memiliki daya beli tinggi dalam pasar. Lantas, apa yang menyebabkan mereka memiliki daya beli yang tinggi?
Anak-anak adalah konsumen 3 in 1, artinya seorang konsumen anak akan memiliki tiga peran dalam pasar. Pertama, anak-anak sebagai konsumen masa kini yang siap untuk melakukan konsumsi. Mereka akan membeli barang yang diinginkan saat memiliki sejumlah uang untuk memenuhi kepuasannya. Industri yang berkonsentrasi dalam menyediakan fasilitas bagi konsumen anak-anak di masa kinni adalah industri makanan ringan, sereal, minuman, dan mainan. United States Retail Sales of Children Foods and Beverages (2018) mencatat penjualan produk makanan dan minuman mencapai 41,09 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Renub Research, perusahaan riset pasar di Amerika Serikat, juga menyatakan bahwa pasar makanan dan minuman di Amerika Serikat akan mencapai angka 58 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Kedua, anak-anak sebagai konsumen masa depan. Produk akan berusaha membangun citra tertentu bagi anak-anak sehingga melekat sebagai kebiasaan. Selain menjadi kebiasaan, kemungkinan lain yang muncul adalah kekuatan nostalgia suatu produk. Salah satu produk yang mempunyai kekuatan ini adalah Star Wars. Star Wars yang pertama kali muncul pada tahun 1977 ini masih menjadi topik diskusi yang hangat hingga sekarang. Star Wars juga dilaporkan meraup pendapatan sebesar 10 miliar dolar AS dari 12 film dan 9,4 miliar dolar AS dari beberapa produk waralabanya. Hal lain yang menarik dari Star Wars adalah antusiasme penggemar dalam membeli merchandise. PYMNTS (2015) melaporkan bahwa pendapatan dari merchandise mencapai 5-7 miliar dolar AS dengan perhitungan hanya pada saat rilisnya Episode VII-The Force Awakens. Keberadaan Star Wars yang masih relevan saat menginjak usia 43 tahun merupakan kontribusi dari para penggemar lama yang bersedia untuk menginvestasikan berbagai sumber dayanya guna bernostalgia. Selain itu, ada juga kontribusi konsumsi dari para penggemar dari generasi yang baru terjun ke dunia Star Wars.
Ketiga, anak-anak mempunyai kekuatan untuk memengaruhi pengambilan keputusan konsumsi dalam keluarga. Berdasarkan YTV Kids and Tweens Report (2008), anak-anak dapat memengaruhi beberapa keputusan dalam keluarga, seperti pilihan menu makanan, tempat berlibur, belanja pakaian, dan pembelian komputer dengan persentase rata-rata keberhasilan 89 persen. Hal ini terutama terjadi pada anak-anak yang terekspos dengan internet dalam waktu yang lama. Kemungkinan ini akan semakin besar jika seorang anak lahir di keluarga yang tidak konservatif sehingga suara dari anak dijadikan pertimbangan besar dalam pengambilan keputusan.
Isu dalam Perilaku Konsumen Anak
Anak-anak tentu tidak langsung mengerti tentang konsep konsumsi. Dalam hal ini, terdapat beberapa pihak yang memengaruhi perilaku mereka sebagai konsumen. Pihak pertama yang berperan adalah keluarga. Keluarga adalah pihak yang pertama kali mengenalkan konsep uang sebagai alat tukar dan satuan hitung kepada anak. Keluarga juga memiliki otoritas untuk memilih produk apa yang ingin disajikan kepada anak sebagai sebuah orientasi awal terhadap konsep belanja. Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah uang saku yang diberikan kepada anak yang belum bekerja. Uang saku akan menjadi sumber utama penghasilan mereka untuk melakukan konsumsi.
Pihak kedua yang berperan penting adalah media. Anak-anak akan mendapatkan berbagai macam informasi terkait produk di televisi, majalah, maupun internet. Di era ini, internet mempunyai andil yang besar dalam media karena aksesnya yang praktis, mudah, dan lengkap. Berbagai macam iklan produk dapat ditemukan saat sedang menggunakan internet, salah satunya iklan produk yang ada di video YouTube maupun beberapa aplikasi permainan. Namun, keberadaan internet berpotensi membahayakan anak-anak sebagai konsumen. Dilansir dari BBC News (2019), YouTube didenda 170 juta dolar AS karena pelanggaran privasi data pada akun anak-anak di Amerika Serikat. Pelanggaran privasi data tersebut yang menjadi salah satu bahaya dari internet. Hal lain yang menjadi kekhawatiran saat anak-anak terekspos dengan media adalah keberadaan konten yang tidak sesuai dengan usia mereka. Filter yang kurang tepat dan kurangnya pengawasan dari orang dewasa menjadi alasan yang melatarbelakanginya.
Happy Meal milik McDonald’s merupakan salah satu contoh produk makanan yang menjadi perhatian lantaran kontribusinya kepada anak-anak. McDonald’s sebagai salah satu restoran cepat saji tentu menyajikan makanan yang jauh dari istilah makanan sehat. Hal ini yang kemudian menuai komplain dari berbagai pihak, di antaranya Happy Meal akan mengajarkan pola makanan tidak sehat pada anak-anak. Selama beberapa tahun ini, Happy Meal mulai mengganti beberapa isi produknya dengan makanan yang berkalori lebih rendah. Namun, banyak pihak yang masih menganggap bahwa langkah progresif ini tidak akan berdampak besar. Hal ini mengingat bahwa anak juga berperan sebagai konsumen masa depan. Ketika anak sudah disuguhi makanan cepat saji di usia dini, maka dikhawatirkan ini akan menjadi sebuah kebiasaan buruk di masa depan.
Mainan yang menjadi daya tarik Happy Meal ternyata juga menjadi sumber masalah bagi McDonald’s. Pada tahun 2010, McDonald’s yang berlokasi di Quebec, Kanada harus berurusan dengan hukum. Berdasarkan hukum Quebec, iklan yang secara langsung ditujukan kepada anak usia di bawah 13 tahun merupakan sebuah pelanggaran. Seperti yang kita tahu, mainan dengan karakter kartun terkenal ala Happy Meal adalah salah satu strategi iklan untuk menarik konsumen anak-anak. The US Children’s Advertising Review Unit (2015) juga menyoroti langkah Happy Meal yang lebih fokus mengiklankan mainan daripada makanan sebagai produk utamanya.
Menjadi Beretika dalam Beriklan
Pemasaran yang menargetkan anak-anak secara masif tanpa memerhatikan dampak negatifnya merupakan sebuah bentuk eksploitasi. Lantas, apa langkah preventif yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya eksploitasi
Children’s Advertising Review Unit (CARU) memiliki pedoman terkait dengan ini. Pertama, konten iklan harus realistis dan tidak menyesatkan, artinya produk yang disajikan dalam iklan adalah tampilan sebenarnya. Kedua, iklan tidak boleh mengeksploitasi imajinasi anak-anak. Untuk itu, ketika iklan memiliki genre fantasi sebagai konsep, pembuat iklan harus memutar otak sehingga anak mampu membedakan antara dunia sebenarnya dengan fantasi yang terdapat di dalamnya. Ketiga, pentingnya kesadaran dari iklan produk makanan dan minuman untuk tidak mengglorifikasi pola makanan tidak sehat kepada anak-anak.
Selain itu, CARU juga menyoroti pentingnya keselamatan anak-anak dan kesesuaian iklan terhadap usia mereka. Saat iklan menampilkan adegan, contohnya bersepeda, maka adegan tersebut harus sesuai dengan ketentuan cara bersepeda dengan aman, yaitu menggunakan helm dan pelindung lutut. Iklan produk yang tidak sesuai dengan usia anak juga patut dihindari, seperti obat, suplemen, alkohol, serta iklan yang memuat kekerasan maupun unsur seksual.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bebasnya iklan dari unsur yang berpotensi besar memaksa anak-anak untuk membeli produk. Iklan yang mengglorifikasikan betapa prestise dan keren seseorang saat memiliki suatu produk adalah iklan yang patut dihindari. Tekanan dari iklan ditambah dengan lingkungan teman sebaya akan menimbulkan anak memiliki pester power yang berdampak buruk jika menjadi sebuah kebiasaan. Oleh karena itu, mengingat fase anak-anak adalah fase yang identik dengan eksplorasi, meniru, dan eksperimen hal-hal baru. Pedoman tersebut berperan penting dalam melindungi konsumen anak-anak dari berbagai pengaruh negatif yang akan terjadi.
Menjadikan anak-anak sebagai target konsumen merupakan suatu keadaan yang tidak bisa dihindarkan. Ekspansi produk kepada anak-anak menjadi salah satu pilihan perusahaan yang berpotensi besar untuk mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, ekspansi yang terjadi tidak lepas dari isu eksploitasi dan dampak negatif yang timbul. Hal ini didukung dengan keberadaan teknologi dan internet sebagai media yang dapat dijangkau anak-anak dengan konten yang beragam. Peran pemerintah sebagai regulator, keluarga sebagai pendidik pertama dan utama anak, serta produsen sebagai penyedia produk akan berpengaruh untuk menghindari terjadinya eksploitasi. Untuk itu, edukasi kepada beberapa pihak yang terkait sangat dibutuhkan guna melindungi anak sebagai konsumen dini.
Referensi
Businesswire. (2019). United States $58 Billion Kids Food and Beverage Market to 2025 by Cereal, Dairy Frozen Products, Meals, Shelf-Stable, Juice/Fruit Drink – ResearchAndMarkets.com. Diakses melalui: https://www.businesswire.com/news/home/20191218005505/en/United-States-58-Billion-Kids-Food-Beverage
BBC News. (2019). YouTube fined $170m in US over children’s privacy violation. Diakses melalui: https://www.bbc.com/news/technology-49578971#:~:text=The%20video%2Dstreaming%20site%20had,Privacy%20Protection%20Act%20(Coppa).
CARU. 2009. CARU GUIDELINES 2019. Diakses melalui: https://fkks.com/uploads/news/6.30.11_CARU_Ad_Guidelines.pdf
Chaudhary, Monica. (2016). RESPONSIBLE MARKETING TO KIDS. VSRD International Journal of Business and Management Research. 6.
Chaudhary, Monica. (2010). Marketing to Children: Exploring Ideas. ELK: Journal of Marketing and Retail Management. 1. 141-155.
Conway, Jan. (2018). Children’s Food and Beverages – Statistics & Facts. Diakses melalui: https://www.statista.com/topics/2078/childrens-food-and-beverages/
Hoffower, Hillary. (2019). George Lucas is one of America’s wealthiest celebrities. Here’s a look at how the ‘Star Wars’ creator built and spends his $6.4 billion fortune. Diakses melalui:https://www.businessinsider.com/star-wars-george-lucas-net-worth-movies-house-spendingps
Nairn, Agnes. (2009). Consumer kids – the influence of the commercial world on our children. Diakses melalui: http://www.longwood.edu/staff/miskecjm/400marketingarticle.pdf
Poulton, Terry. (2008). ‘Kidfluence’ on family spending strong: YTV Tween Report. Diakses melalui: https://mediaincanada.com/2008/02/22/tweenreport-20080222/
PYMNTS. (2019). The Star Wars Merch Be With You. Diakses melalui: https://www.pymnts.com/news/retail/2019/star-wars-disney-movie-merchandise-revenue/
Sramova, Blandina. (2017). Children’s Consumer Behavior. 10.5772/intechopen.69190.://m-2019-7?r=US&IR=T
Shoham, A. and Dalakas, V. (2005). “He said, she said … they said: parents’ and children’s assessment of children’s influence on family consumption decisions”, Journal of Consumer Marketing, Vol. 22 No. 3, pp. 152-160. https://doi.org/10.1108/07363760510595977
Discussion about this post