“The internet has been a boon and a curse for teenagers.” –J.K Rowling
Internet tak ubahnya seperti sebuah permainan sepakbola yang oleh satiris, Pangeran Siahaan, digambarkan sebagai candu kapitalis global. Begitu banyak manfaat dan kegunaan yang ditawarkan oleh internet akhirnya membuat hampir semua masyarakat bersepakat untuk memasukkannya dalam daftar sebagai kebutuhan. Pola perilaku konsumsi masyarakat tanpa disadari pun bergeser, menjadikan internet berkorelasi dengan kata “butuh” daripada cuma sekadar “perlu”.
Ketika internet akhirnya masuk dalam tataran tersebut, adiksi akan internet pun muncul sebagai bagian dari konsekuensi. Seberapa sering Anda mengecek smart-phone atau gadget Anda dalam sehari karena bebunyian aplikasi komunikasi online? Berapa jam waktu yang rela Anda sisakan dalam sehari demi menundukkan kepala untuk berselancar asyik lewat internet? Atau lebih ekstremnya, tanyakan kepada diri Anda sendiri yang mengaku sebagai masyarakat urban, bagaimana jika satu hari saja kita hidup tanpa jaringan internet?
Tak berhenti sampai di situ, konsep globalisasi yang menginginkan dunia menjadi borderless dan memampukan koneksi tanpa batas antara satu dengan lainnya seolah memang mampu direpresentasikan dengan baik melalui keberadaan internet. Internet membuat pengguna bisa menemukan apa saja, bertanya apapun, berkomunikasi dengan beragam cara, termasuk berekspresi dengan leluasa. Bak sihir tanpa sim-salabim, internet seolah bisa menawarkan begitu banyak kemudahan, alternatif jawaban untuk sebuah pencarian, hingga menjadi shortcut kebebasan.
Barangkali jika makhluk bernama internet tersebut diwujudkan dalam sebuah kecerdasan buatan macam J.A.R.V.I.S yang bisa berbicara, ia akan menyambut Anda dengan sapa, “Selamat datang dalam dunia yang tidak mengenal sekat. Kamu bebas melakukan apapun di sini.” Namun, jika kebebasan yang ditawarkan oleh internet hanya dimaknai oleh pengguna sebagai keleluasaan tanpa ada upaya untuk berhati-hati, bisa jadi, fungsi positif internet justru rawan terdistorsi.
Munculnya distorsi
Kecanggihan internet yang bisa memberikan begitu banyak manfaat bagi kehidupan manusia merupakan satu hal yang tidak bisa dipungkiri meski efek negatif dari internet juga tak bisa dihindari. Informasi sebagai salah satu bentuk input dan output dari keberadaan jaringan yang memudahkan komunikasi ini bisa mengalir deras bahkan tanpa filter. Semoga pembaca masih ingat tentang isu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang ternyata memiliki jaringan internet yang begitu kuat untuk menyebarkan pahamnya ke seluruh dunia. Selain itu, kemunculan berita-berita palsu tak henti-hentinya menyebar melalui internet. Bahkan, pada 8 Mei 2015 kemarin, Washington Post mendeteksi ada enam berita palsu yang cukup menggemparkan masyarakat tersebar melalui internet dan media sosial, salah satunya adalah berita kematian penyanyi BB King dan Edward Snowden si whistleblower. Padahal setelah diusut, orang yang mati ternyata adalah Ben E. King bukan BB King. Lalu, kabar kematian Snowden ternyata hanyalah isu yang disebar oleh akun palsu Kementrian Dalam Negeri Rusia.
Entah tujuannya apa, kemunculan informasi hoax dan situs-situs propaganda seolah menjadi sisi gelap internet yang memang sukar diberantas. Contoh di atas hanyalah sebagian kecil yang pasti tidak bisa mewakili populasi. Ketika hal tersebut terjadi, daya kritis masyarakat sebagai pengguna informasi sebenarnya dituntut untuk mampu memilahkan mana saja informasi yang valid dan tidak. Akan tetapi, sisi kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh informasi yang ditawarkan internet terkadang justru membuat seseorang lupa untuk menganalisis berita lebih dalam padahal tidak semua informasi yang disajikan internet adalah benar, penting, bermutu, dan valid. Jika pengguna tidak kritis, di titik itulah internet mulai memunculkan distorsi atau penyimpangan sebuah informasi. Informasi yang seharusnya menjadi dasar untuk mendapatkan fakta dan mengambil keputusan malah beralih fungsi menjadi sumber kebohongan bagi sesama jika pengguna tidak bijaksana dalam memilah sumbernya.
Gagasan borderless world yang dibawa internet tampaknya juga bisa menjadi sumber distorsi baru. Melalui media sosial yang kini modelnya kian beragam, internet memampukan dan menjamin penggunanya mampu berkomunikasi menembus perbedaan zona waktu dengan biaya serta kecepatan yang jauh murah dan cepat dibandingkan surat atau telepon. Fakta bahwa internet ataupun media sosial bisa menembus sekat-sekat territorial lambat laun juga mampu mengaburkan istilah distance means everything.
Akan tetapi, benarkah konsep borderless world benar-benar nyata adanya? Kecanggihan internet dan media sosial yang memampukan beragam variasi komunikasi sekaligus, baik gambar, teks, suara, hingga visual terkadang membuat penggunanya malas untuk bertemu dan bertatap muka dengan sesama. Mendengar, menulis, dan melihat melalui perantara internet menjadi bentuk komunikasi dua arah yang kemudian dipilih karena dinilai lebih efisien. Namun, ada esensi komunikasi yang tidak bisa dijangkau media sosial, yaitu esensi komunikasi langsung saat kita dengan lawan bicara bertemu langsung, berdialog dengan saling tatap muka tanpa perantara. Esensi bahwa komunikasi langsung lebih mampu membangun ikatan.
Sampai di sini, konsep borderless world lewat media sosial rawan menimbulkan distorsi komunikasi. Mengapa? Media sosial seolah memberi sekat terhadap ikatan yang seharusnya mampu terjalin melalui komunikasi yang terjalin secara intens. Media sosial seolah menciptakan sekat antara ikatan seseorang di dunia nyata dan di dunia maya yang bisa menjadi kontradiktif. Sebab, kedekatan melalui media sosial terkadang tidak menjamin kedekatan hubungan dalam dunia nyata. Istilah bahwa terkadang media sosial bisa mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat barangkali memang benar adanya.
Fungsi internet yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi ternyata juga sarat akan distorsi. Hal tersebut secara pribadi saya sadari akibat membaca sebuah postingan ke akun @perempuansore yang menyindir masifnya penggunaan internet atau sosial media sebagai ajang pamer. “Definisi sukses hari ini adalah: apa yang dipamer di sosial media. Definisi bahagia hari ini adalah: apa yang dipamer di sosial media.” Kalimat itu kemudian diikuti dengan, “Lagi-lagi apa yang kita bagi di sosial media kemudian menjadi tolok ukur bagi orang lain, bagi diri sendiri bahwa paling tidak hidup gue lebih menyenangkan dari hidupnya si anu.” Pernyataan tesebut sejalan dengan tulisan Ivana Lucica, seorang mahasiswi Universitas Zagreb yang menulis mengenai “Psychological Aspects of Cyberspace”. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa salah satu aspek negatif internet atau sosial media adalah adanya tendensi bahwa feeling that happiness belongs to others.
Inilah kadar distorsi yang menurut saya paling berbahaya, sebab internet seolah menyetir definisi dan ukuran kebahagian dalam benak seseorang. Kebebasan berekspresi untuk memaknai sebuah kebahagiaan, kesuksesan, atau barangkali untuk memaknai hidup menjadi sedikit terdistorsi karena kecenderungan kita untuk saling membandingkan dan—parahnya—kadang menjadikan milik orang lain sebagai standar. Sadar atau tidak, beberapa dari kita sering menyimpulkan kadar kebahagiaan dan kesuksesan yang diperoleh seseorang atas unggahannya di sosial media. Bukankah pada dasarnya kita tidak suka diperbandingkan, tetapi mengapa kita gemar sekali membanding-bandingkan?
Paparan di atas hanyalah sekelumit hal yang baru-baru ini sedang saya sadari dan renungkan. Tidak ada maksud apapun selain untuk mengajak diri saya dan pembaca supaya lebih berhati-hati dalam pemanfaatan teknologi bernama internet ini. Sekali lagi, internet adalah benda mati yang entah bagaimana bisa berasa seperti makhluk hidup yang banyak membantu dalam kehidupan sehari-hari.
Jangan pernah menyalahkan internet ketika fungsinya kadang terdistorsi. Sebab, internet tetaplah bukan apa-apa ketika tidak ada manusia yang menciptakan dan menggerakkannya. Sebagaimana kita harus ingat sabda alam yang mengatakan bahwa secanggih apapun teknologi atau sistem dibuat tidak akan menjamin adanya kehidupan yang lebih baik jika manusianya tetap berpikiran dan berkelakuan busuk.
(Mutiara S. Santosa/Akuntansi UGM)
@mutiarasantosa
Discussion about this post