Beredarnya isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi sorotan masyarakat Indonesia saat ini. Selain menjadi perbincangan masyarakat, isu ini juga menuai banyak pro dan kontra. Jumat (9/9) lalu, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Equilibrium mengadakan diskusi antar Pemimpin Umum dan Wakil Pemimpin Umum Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa di Universitas Gadjah Mada mengenai isu tersebut. Selain untuk membahas kenaikan harga rokok, diskusi ini juga bertujuan untuk meningkatkan tali silaturahmi dan semangat diskusi antar pers mahasiswa (persma).
Diskusi ini bertempat di ruangan U213 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Diskusi yang mengangkat tema “Menanggapi Wacana Kenaikan Harga Rokok” tersebut dihadiri oleh berbagai persma yang ada di UGM, seperti Entropi dari Teknik Kimia UGM, HMTI (Himpunan Mahasiswa Teknik Industri) UGM, Farsigama dari Fakultas Farmasi UGM, Bahari Pers dari Fakultas Perikanan UGM, Pijar dari Fakultas Filsafat UGM, dan Equlibrium dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Diskusi pun berjalan dengan penuh antusias. Berbagai pernyataan, sanggahan, pendapat, saran, serta data semua disampaikan oleh peserta diskusi.
Rakyan Widhowati selaku moderator membuka diskusi dengan menyatakan tiga permasalahan yang timbul dari adanya isu mengenai kenaikan harga rokok. Pertama, apabila harga rokok naik, tentu akan terjadi penurunan pada industri rokok dan devisa negara sekitar 45%. Kedua, tingkat perekonomian petani mungkin akan naik dengan beralihnya ke rokok tradisional, tetapi tingkat kriminalitas juga akan naik. Ketiga, pendapatan negara tidak akan mengalami penambahan, tetapi angka penyakit akan bertambah karena buruknya rokok tradisional tersebut.
Berbagai pendapat pro dan kontra pun bermunculan dalam diskusi ini. Ada yang setuju dan tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga rokok di Indonesia. Permasalahan ini ditanggapi oleh Niko, perwakilan Entropi. “Menurut saya itu ga make sense kalau naiknya sampai Rp50.000,00. Memang ada keuntungannya, tapi keputusannya itu belum jelas sebenarnya apa yang mau dicapai, perlu untuk dikaji ulang. Kalau memang mengejar penurunan jumlah perokok kan banyak alternatif lain, kalau mau meningkatkan produksi petani tembakau, kenapa ga coba mengekspor rokok tradisional itu ke luar,” tuturnya.
“Kalau memang ingin mengutamakan kesehatan masyarakat, mungkin benar harga rokok itu dinaikkan untuk mengurangi jumlah perokok. Namun, pemerintah juga harus memikirkan dampak dari kenaikan harga tersebut, contohnya perekonomian negara jadi turun, apa yang bisa dilakukan untuk itu, misalkan pemerintah mengusulkan ekspor,” seru Ulayya, perwakilan dari Equilibrium. Alfrida dan Retika perwakilan dari Farsigama juga pro dengan naiknya harga rokok untuk dapat mengurangi jumlah perokok. Mereka mendukung harga cukai rokok naik, yang nantinya kenaikan itu juga dapat meningkatkan kas negara dan dapat menjadi dana cadangan untuk pelatihan bagi mereka yang ingin berhenti merokok maupun untuk para petani dan buruh yang kehilangan pekerjaannya.
Daeng perwakilan dari Pijar termasuk pihak yang kontra mengenai hal ini. Ia mengungkapkan bahwa lebih banyak aspek negatif yang timbul dibandingkan dampak positifnya. Selain itu ia juga lebih setuju jikalau harga rokok dinaikkan secara bertahap. Sedangkan Farid, perwakilan dari HMTI, yang pro dengan kenaikan harga rokok menganggap kenaikan harga rokok ini merupakan tindak lanjut dari upaya pemerintah. Ia menyebutkan himbauan yang berawal dari kata-kata di iklan rokok menjadi ‘rokok membunuhmu’, lalu terpampang gambar organ-organ tubuh yang rusak karena rokok, dan sekarang akhirnya sampai pada harga rokok yang dinaikkan.
Sementara itu, Muthia dan Uki dari perwakilan Bahari Pers justru terfokus pada nasib para petani tembakau dan buruh yang bekerja di pabrik rokok. Sebab jika harga rokok naik dan konsumen menurun, maka permintaan akan produk rokok menurun yang menyebabkan produksinya pun menurun. Dengan menurunnya produksi ini, maka akan ada banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang nantinya berakhir pada peningkatan jumlah pengangguran. Pemerintah yang menentukan kebijakan ini harusnya dapat memikirkan lebih jauh mengenai dampak dan penyelesaiannya, seperti adanya peralihan pengolahan tembakau menjadi hal lain yang lebih bermanfaat dan berguna.
“Kemarin saat perkuliahan MIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) Kimia, dijelaskan kalau nikotin dalam tembakau dapat diolah menjadi vitamin B3 karena strukturnya sangat mirip. Mungkin hal seperti ini tindak lanjutnya dapat diaplikasikan,” seru Adrian, perwakilan Entropi. Selain penerapan kenaikan harga secara bertahap dan pengolahan tembakau menjadi hal lain, Gandhi perwakilan dari HMTI menyebutkan bahwa pemerintah juga dapat mulai menerapkan denda, misalkan Rp500.000,00 untuk sekali merokok. Denda ini juga dapat diterapkan di daerah-daerah sehingga dapat menjadi penambahan pendapatan daerah yang bisa berguna untuk mengolah renewable energy di Indonesia.
Shienny dari Equilibrium juga berpendapat bahwa untuk melakukan ekspor tembakau, Indonesia masih belum dapat melakukannya, karena kebutuhan rokok di Indonesia bahkan melebihi jumlah tembakau yang dihasilkan per tahunnya. Dengan perbandingan jumlah tersebut, maka Indonesia justru melakukan impor tembakau dari negara lain. Namun, dengan melihat dari kondisi sekarang ketika harga rokok telah naik dan jumlah perokok diharapkan menurun, Gandhi menuturkan bahwa dengan demand yang menurun tersebut Indonesia mampu berhenti melakukan impor dan memanfaatkan tembakau lokal semaksimal mungkin serta melakukan ekspor tembakau. Semua itu tergantung oleh pemerintah untuk dapat secara cermat mencari alternatif baru olahan tembakau atau yang lainnya. “Harus ada persiapan yang matang dari pemerintah itu sendiri,” seru Bernardus perwakilan dari Equilibrium mempertegas pernyataan-pernyataan yang ada.
Diskusi kali ini menghasilkan solusi dari adanya isu penetapan kenaikan harga rokok oleh pemerintah. Pihak yang tepat untuk mengatasi dampak dari isu ini yaitu pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintah harus lebih cermat dalam menentukan kebijakan, dan lebih memikirkan hal untuk mengantisipasi dampak negatif yang akan bermunculan nantinya, seperti adanya PHK, menurunnya pendapatan petani tembakau, atau bahkan meningkatnya tingkat kriminalitas di Indonesia. Alternatif yang dapat disediakan yaitu mengadakan pelatihan atau adanya pengolahan tembakau baru. Selain itu, kenaikan harga ini dianggap terlalu cepat dan drastis, lebih baik jika kebijakan ini dilakukan secara bertahap pada tiap tahunnya. Dengan demikian, para pekerja, petani, maupun masyarakat tidak langsung terkejut dengan kenaikan harga yang ada dan dapat memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan perubahan harga rokok tersebut.
(Clarisa Oktaviana/EQ)
Discussion about this post