Oleh: Annisa Salsabiila, Amalia Anisa, Kirana Lalita Pristy
Setelah pengerjaan yang menghabiskan waktu kurang lebih tiga bulan, Digital Lounge-offline Center for Technology and Observation Laboratory (OCTO Lab) yang dibangun bekerjasama dengan CIMB Niaga kini telah aktif digunakan. Sejak diresmikan pada Senin, 17 Februari 2020 yang lalu, lounge yang berada di pojok timur Gedung U Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) ini sudah terlihat ramai dikunjungi oleh para mahasiswa. Digital lounge ini ditujukan untuk mengganti fungsi sekretariat bersama yang menaungi para anggota organisasi maupun himpunan di FEB.

Pengguna lounge ini dapat memanfaatkan meeting rooms berupa bilik kecil yang dilengkapi layar TV untuk mengadakan rapat seperti, weekly meeting atau membahas program kerja. Digital lounge ini juga difasilitasi banyak kursi dan meja yang dapat digunakan untuk sekadar duduk sambil mengobrol atau mengerjakan tugas. Namun, tentunya kehadiran ruang baru ini membawa sejumlah perbedaan signifikan yang dapat kita rasakan. Sebelum Digital lounge selesai dibangun, BPPM Equilibrium sempat mewawancarai empat mantan pengguna sekretariat yang lama. Keempat orang ini adalah Donny Afif (Chairman Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen (IKAMMA) 2019), Ananda Priscilla (Ketua Pencinta Alam Mahasiswa Ekonomi (PALMAE) 2019), Pavithra Devi (Staff Biro Human Resource Ikatan Mahasiswa Akuntansi Gadjah Mada (IMAGAMA) 2019), dan Septiandi Nurman (Staff Departemen Internal, Olahraga, dan Seni Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) 2019).
Pada awalnya, keempat mahasiswa ini kurang setuju dengan adanya penggantian sekretariat lama. Hal ini dipicu oleh banyak hal yang menyangkut keberlangsungan organisasi. “Hal yang membuat saya kurang setuju adalah penggusuran yang dilakukan ditengah-tengah kepengurusan tanpa adanya ruangan pengganti bagi pengurus organisasi.” jelas Donny. Dalam waktu tiga bulan sejak pembangunan digital lounge, para pengurus organisasi sempat kebingungan karena hilangnya tempat untuk berdiskusi, latihan, dan sebagainya. Apalagi “penggusuran” dilakukan pada waktu yang kurang tepat, yaitu saat pertengahan masa kepengurusan sehingga kurang ada persiapan yang matang. Lantas, bagaimana tanggapan mereka tentang digital lounge setelah resmi menjadi pengganti sekretariat lama?

Para pengguna Digital Lounge merasakan adanya peningkatan fasilitas dari sekretariat yang lama ke sekretariat yang baru. Begitu pula dengan keempat mahasiswa yang telah diwawancarai, mereka juga merasakan hal yang sama. Mereka berpendapat bahwa kini sekretariat sangat nyaman digunakan karena difasilitasi pendingin ruangan, meja dan kursi modern yang ditata dengan baik, serta TV yang melengkapi setiap bilik meeting room. Sayangnya, peningkatan fasilitas sekretariat yang baru ini tidak cukup untuk menghilangkan keresahan-keresahan yang juga muncul.
Dalam wawancaranya, Pavithra Devi berpendapat bahwa kini fungsi sekretariat sebagai tempat untuk bonding antaranggota sudah tidak ada. “Kumpul anak anggota organisasi itu nggak cuma saat rapat saja. Digusurnya sekre dan diubah menjadi digital lounge mengakibatkan anggota organisasi kesusahan mendapatkan tempat berkumpul yang sifatnya di luar rapat,” ujar Pavithra. Selain itu, menurut Pavithra, bilik meeting room hanya berjumlah sedikit dan tidak dapat memfasilitasi seluruh kebutuhan organisasi. Meeting room hanya dapat digunakan secara terbatas dan penggunaannya harus bergantian dengan yang lain. “Biasanya sih sebelum menggunakan meeting room, kita harus janjian terlebih dahulu di grup (grup chat pada aplikasi pengirim pesan – red). Mau dipakai sesi berapa sampai sesi berapa, gitu. Jadi kita tidak bisa berlama-lama dalam pemakaian ruangan itu.”

Selain itu, Digital Lounge yang sekarang tidak difasilitasi tempat untuk menyimpan barang dan aset yang berkaitan dengan organisasi. Hal ini tentunya sangat merepotkan apabila organisasi sedang mengadakan event atau acara yang menggunakan properti yang besar. Mereka secara terpaksa harus membawa pulang barang-barang tersebut dan membawanya lagi ke kampus apabila mau digunakan. “Hilangnya fungsi penyimpanan dari sekretariat kini meningkatkan risiko kelalaian dalam menjaga barang milik organisasi maupun himpunan,” ungkap Septiandi.
Keresahan lain juga dirasakan oleh PALMAE seperti yang disampaikan oleh Priscilla, “Digital lounge ini tidak cocok fungsinya bagi PALMAE karena kurang efektif untuk bonding dan tidak dapat digunakan sebagai tempat latihan single rope technique. Akhirnya mau tidak mau kami harus menumpang latihan di tempat organisasi mahasiswa pecinta alam yang lain.”
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan digital lounge sebagai pengganti sekretariat lama memiliki dampak baik dan juga buruk bagi setiap organisasi. Hal yang terpenting dari semua itu adalah kerukunan yang terjalin di antara organisasi dan pengurus internal kampus. Harapan mereka untuk kedepannya adalah digital lounge dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan dapat diberlakukan sistem penggunaan ruang yang lebih jelas. Selain itu, alangkah baiknya apabila ditambah dengan penyetaraan fungsi dengan sekretariat lama agar semua kegiatan organisasi merasa adil dan tidak terganggu.
Discussion about this post