Kawasan Nol Kilometer ditutup. Beberapa penunjuk jalan di sepanjang kota Yogyakarta dipasang untuk menghimbau masyarakat agar menghindari Nol Kilometer. Hal ini dikarenakan terdapat sebuah pembangunan jalan di kawasan jantung kota Yogyakarta ini. Aspal yang terletak pada sekitar lampu lalu lintas utara, selatan, timur, dan barat di sepanjang titik Nol Kilometer akan diganti dengan batu andesit yang disusun sedemikian rupa membentuk model kawung. Tujuan dari pembangunan ini adalah untuk mempercantik wajah titik Nol Kilometer.
Pembangunan ini cukup memberi pengaruh pada kehidupan sekitar Nol Kilometer. Menurut petugas keamanan setempat, Abeng, akibat dari pembangunan ini terkadang terdapat kendala lalu lintas tetapi lalu lintas masih tetap bisa berjalan lancar. Pengerjaan proyek yang diawasi oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DIY dan beberapa instansi ini berlangsung cukup lama, yaitu sejak bulan September lalu dan ditargetkan rampung pada akhir bulan Desember esok.
Lantas, bagaimana sesungguhnya pengaruh yang dirasakan masyarakat di sekitar pembangunan? Rohman, seorang penari badut jalanan, menuturkan penghasilan hariannya menurun secara drastis karena jumlah pengunjung yang semakin sedikit. Walau sudah mendapat sosialisasi dari pejabat setempat sebelumnya mengenai pembangunan ini, ia tetap memilih untuk tetap bekerja di sekitar lingkungan tersebut demi menutupi kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan Rohman, badut-badut lain yang biasa mangkal di sekitar nol kilometer sudah tak terlihat lagi.
Hal serupa juga dirasakan oleh para pedagang lain, salah satunya Sutipah. Sutipah juga sudah mengetahui adanya rencana pembangunan ini sejak lama. Pedagang kaki lima (PKL) yang sudah bekerja selama kurang lebih 25 tahun di lingkungan sekitar titik nol kilometer ini setiap hari tetap berangkat dari tempat tinggalnya di Bugisan walau sepi pengunjung. “Pemasukan saya berkurang drastis sejak ada pembangunan ini. Biasanya saya mendapat pemasukan lima puluh ribu rupiah per hari, sekarang dalam sehari bisa tidak ada pemasukan sama-sekali,” terang Sutipah. Sutipah berjualan sejak pukul sembilan pagi hingga sembilan malam setiap harinya. Di samping itu, saat berjualan di daerah titik Nol Kilometer ini, ia dan para PKL lainnya juga masih harus “kucing-kucingan” dengan petugas Satpol PP yang diwajibkan untuk mensterilisasi area sekitar nol kilometer ini dari PKL. Akan tetapi hal ini tidak membuat mereka kunjung jera. Mereka tak punya cara lain untuk mencari nafkah. Menurut para PKL tersebut meski sering terjadi razia oleh petugas Satpol PP mereka akan tetap kembali berjualan. Hal ini dikarenakan ibarat “di mana ada gula, di situ ada semut”. Maka sama halnya di mana ada pembeli, di situ juga mereka akan berjualan.
Mereka memiliki harapan agar suatu saat nanti mereka tetap dapat berjualan di sekitaran titik nol ini dengan damai tanpa perlu “kucing-kucingan” dengan petugas Satpol PP. Lebih dari itu, Sutipah dan teman-temannya berharap agar pembangunan jalan ini cepat selesai sehingga jumlah pendapatan mereka kembali seperti semula. Hal ini diamini oleh Rohman.
Setelah proyek di Nol Kilometer ini selesai, maka proyek pembangunan lainnya akan segera dijalankan di sekitar jalan di depan Benteng Vredeburg hingga sepanjang Jalan Malioboro. Semoga pembangunan ini dapat segera diselesaikan dan memberikan dampak baik bagi seluruh elemen masyarakat serta memberikan warna baru kota Yogyakarta.
(Meichel Mastra, Meutia Azzura/EQ)
Image : www.wisatajogja.co.id
Discussion about this post