Rumah hijau sederhana itu terlihat ramai
Namun hanya sepi yang terdengar
Tak apa, hal itu bukan penghalang menikmati indah dunia
Dengan caranya sendiri, merdu nada memeluk mesra
Di sini seni berdetak walau tanpa suara
***
Kesetaraan, satu kata penuh harapan yang selalu membayangi kehidupan kita. Berbagai gerakan terus diusahakan untuk menyadarkan semua orang bahwa segala makhluk ciptaan Tuhan adalah sejajar di mata-Nya. Salah satu aspek yang jarang diulik adalah kesetaraan dalam menikmati seni. Dengan berbagai keindahan yang disuguhkannya, terdapat sebuah pertanyaan yang timbul dalam sunyi. Apakah semua orang dapat menikmatinya? Bagaimana para teman Tuli menikmati alunan musik merdu yang biasa memanjakan telinga kita?
Tuli adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat mendengar suara secara sebagian atau penuh pada salah satu atau kedua telinga. Oleh masyarakat Indonesia sering disebut tunarungu. Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa tunarungu sebenarnya merupakan ujaran yang mengganggu. Faktanya, tunarungu berarti adanya kerusakan pada sistem pendengaran. “Tuli (menggunakan T besar) itu perspektif sosial dan budaya. Tuli itu membantu kami (karena; red) maknanya positif,” jelas Gustian Hafidh Mahendra, seorang Tuli yang juga merupakan ketua Deaf Art Community melalui bantuan juru bahasa isyarat. Lebih lanjut, menurut Hafidh, Tuli membuat mereka merasa unik dan menambah percaya diri. Imbasnya, mereka turut aktif dalam organisasi dan komunitas.
Apabila ditelisik, sebuah ruang inklusi telah lama hadir memberi suaka bagi teman Tuli untuk berekspresi. Ruang tersebut bernama Deaf Art Community (DAC), yang lebih suka menyebut anggota mereka Tuli daripada tunarungu. DAC membuat masyarakat akan satu langkah lebih dekat melepas sekat stereotip mengenai Tuli meskipun tak nyaring gaung nama komunitas ini. Membangun lingkungan kesetaraan dan kebebasan dalam menikmati seni, DAC memberi banyak arti yang tidak hanya bagi Tuli, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Terdorong dengan adanya fakta bahwa banyak teman Tuli yang hanya berdiam diri di rumah dan tidak memiliki kepercayaan diri, Deaf Art Community akhirnya teguh berdiri pada 28 Desember 2004. Menjadi satu-satunya komunitas Tuli yang berfokus pada seni di Yogyakarta, hingga saat ini, Deaf Art Community mendorong para teman Tuli untuk terus berkarya. Hafidh menegaskan perlunya kesempatan untuk teman-teman Tuli agar dapat mengekspresikan kemampuan mereka. Menurutnya, teman-teman Tuli juga mampu berkarya layaknya orang normal lainnya “Anggota DAC ada yang bisa menari hiphop. Ada juga teman-teman yang mengekspresikan diri dengan melukis,” ujar Hafidh bangga. Pun melalui pertunjukan seni, Tuli dapat unjuk gigi melalui cerita-cerita yang mereka tampilkan.
Keraguan masyarakat terhadap kemampuan para teman Tuli masih sering mendatangi. Meskipun sudah banyak masyarakat yang terbuka dan mendukung komunitas Tuli, masih banyak pula masyarakat awam yang menyangsikan kemampuan para teman Tuli. “Kadang-kadang yang masih awam (mengatakan; red) ‘emang bisa nari? emang bisa tampil?’ ternyata bisa kok, ada kemampuan kok,” kata Hafidh lagi.
Untuk seni musik pun, mereka tidak merasa canggung berada di dalamnya. Para teman Tuli juga senang menikmati seni musik. Faktor penting yang membantu mereka untuk menekuni dunia seni musik adalah getaran. Selama alat musik tersebut menghasilkan getaran yang dapat dirasakan oleh para teman Tuli, maka mereka bisa menikmatinya. “Ada Tuli yang suka mendengar beatbox. Untuk alat musik, Jimbe misalnya, ada dua orang di sini yang memainkannya. Tambur juga, misalnya ada suara getaran dan bisa dirasakan,” Hafidh menjelaskan. Menurut penjelasan Hafidh, Tuli memainkan alat musik dengan cara merasakan getaran dengan menggunakan anggota tubuh lain seperti telapak tangan. Oleh karena itu, alat musik yang sering dimainkan oleh Tuli adalah alat musik perkusi, seperti tambur dan jimbe. Sedangkan untuk alat musik lain, seperti gitar dan piano sulit dimainkan oleh teman Tuli karena getaran dari alat musik tersebut tidak bisa dirasakan secara langsung.
Di Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri, sudah terdapat sebuah komunitas untuk memfasilitasi teman-teman difabel, termasuk di dalamnya teman-teman yang Tuli. Dibentuk resmi sejak 2013, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel fokus bergerak untuk memfasilitasi dan mengadvokasikan keperluan teman-teman difabel agar tercipta kesetaraan di UGM. UKM ini merupakan tahap awal dari pembentukan pusat peduli difabel di UGM. “Awalnya semacam forum beberapa dosen dan mahasiswa yang aware soal difabel dan ingin mengadvokasikan tentang pusat layanan difabel,” kata Adita Fauzan Filandri Wardana, Ketua UKM Peduli Difabel UGM periode 2019.
Menghadapi perlakuan diskriminasi sosial, tentunya menjadikan Hafidh bersama DAC dan berbagai komunitas lain, seperti UKM Peduli Difabel, termotivasi untuk terus menggerakkan kesadaran bersama akan teman-teman Tuli. Memang, lewat UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah telah ikut serta mewujudkan kesamaan derajat untuk sesama. Namun, kesadaran untuk berpartisipasi membuat dunia yang lebih indah bagi semua orang juga diperlukan “Tuli dan disabilitas itu sama (dengan yang tidak disabilitas; red). Saya berharap masyarakat itu bisa berpikir terbuka. Tidak ada yang tidak mungkin. Pasti bisa,” tutup Hafidh dengan optimis.
(Desti Amelia & Shafira Jessenia J/EQ)
Discussion about this post