Oleh: Gregori Noven
Angkasa diam meski menghitung sekat
Bumi tenang kala mencatat jarak
Air tetap utuh dalam benturan beribu-ribu lekuk
Udara menari pada luasan yang kini terbatas
Sekat merebak di antara satu, dua, tiga manusia
Membuat lebar hingga tiada mungkin dikenai sentuh
Jarak memusuhi semua tujuan insan
Menjadi singkatnya sebuah perjalanan
Lekuk masih sama, hanya kian nelangsa
Ikut mendengar keresahan seisi alam raya
Dilemparkan dari rumah tangga, gedung tinggi, pabrik, bahkan dalam istana
Terpantul hingga selokan depan rumah, sawah, sungai, berakhir ke hutan belantara
Pun hutan belantara tiada berdaya
Menyesap kesedihan satu dunia
Ia bertanya pada angkasa lewat pucuk-pucuk daun
Meniti kilau kuning keemasan di atas kepala
Angkasa teramat diam, ragu jawabnya
Ia lemparkan pada bumi yang kehilangan hiruk-pikuknya
Bumi berbisik di setiap perjumpaan dengan air
Air tidak mampu menghanyutkan derita
Ia memohon pada udara
Namun, udara hanya melihat resah dari segala arah
Udara mengintip
Tiap-tiap ruang peristirahatan maupun pertarungan
Penuh gelisah, pasrah, juga usaha dan angan-angan
Sekat meluruh
Asa melipat jarak
Udara sampaikan pada air
Air berjumpa dengan bumi
Bumi menatap ke angkasa
Angkasa membuat kesepakatan
Mengetuk semesta dan Ia yang mencipta dengan sederhana
Agar dapat berkata pada manusia, “Segala sesuatu akan baik adanya.”
Discussion about this post