Oleh: Naufal Mohamad Firdausyan dan Akmal Shalahuddin/EQ
Ilustrasi oleh Ryan Moses Nathael/EQ
Kota menjadi sebuah entitas yang hidup dan menandakan kemajuan peradaban manusia. Beberapa literatur menyebut kota sebagai sebuah organisme hidup yang lahir, berkembang, terdisintegrasi, dan akhirnya mati (Batty dan Marshall 2009, 551-552). Manusia yang hidup di dalamnya dianggap sebagai sel-sel yang membangun organisme tersebut dari dalam serta menimbulkan harmoni. Kreativitas muncul sebagai bagian dari harmoni tersebut dan memberi warna dalam kehidupan kota. Bahkan, kreativitas sudah menjadi nilai baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di kota. Tidak jauh dari sana, akhirnya konsep kota kreatif muncul sebagai representasi kompleksitas dan variasi dalam kota tersebut.
Apa yang sebenarnya disebut sebagai kota kreatif? Istilah kota kreatif sendiri muncul pada tahun 1988 dari ide David Yencken, seorang akademisi di University of Melbourne sekaligus presiden Australia Conservation Foundation. Yencken (2013, 5-6) sebenarnya tidak mendefinisikan secara gamblang makna dari kota kreatif dalam tulisannya.
“…dalam kota kreatif, kita butuh untuk menyeimbangkan stimulasi dari lingkungan dengan kondisi kedamaian dan ketenangan. Setiap individu harus menemukan kedamaian dari dalam atau harmoni. Beberapa melakukannya dengan musik, melakukan meditasi, dan beberapa pula bagi mereka yang kurang beruntung tidak menemukannya sama sekali. Namun, di dalam kota kreatif, kita perlu menyediakan lokasi dan ruang untuk sublimasi, berkontemplasi, dan penyembuhan.”
Terlepas dari pencarian definisi, hal yang patut menjadi perhatian adalah adanya peranan kota sebagai zona rehat dan berkontemplasi; memberi kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan adanya ruang yang mengakomodasi. Seiring perkembangan masyarakat, konsep ini akhirnya berkembang secara dinamis. Asosiasi terhadap kota kreatif melebar ke arah kota budaya dan mulainya kemunculan kelas kreatif dalam masyarakat (Miles, 2013). Kelas kreatif ini menjadi penggerak dalam aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat di dalam kota dengan orientasi penggunaan intuisi dan kreativitas dalam kegiatannya. Pada ujungnya, kota kreatif akan menjadikan sektor kreatif sebagai driver untuk pertumbuhan ekonomi—culture-led economic development.
EVOLUSI RUANG-RUANG KOTA
Konsep kota kreatif telah mengubah wajah ruang-ruang publik di perkotaan. Tak disangkal, ini merupakan dampak akibat meningkatnya permintaan akan ruang kolektif masyarakat untuk berkreativitas. Penggunaan lahan sebagai kawasan industri dan produksi secara bertahap bergeser penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan ruang kolektif publik. Pusat-pusat industri dan produksi semakin lama berubah menjadi usaha-usaha mikro masyarakat, bahkan mencapai 90 persen secara empiris dan terjadi di kota-kota pasca industri (Evans 2009, 1004).
Evolusi ruang publik di perkotaan ini pun tidak lepas dari peran para kelas kreatif di perkotaan. Kegiatan mereka akan cenderung bergerak pada sektor ekonomi kreatif; kuliner, musik, fesyen, hingga seni pertunjukan (Bekraf 2017). Kemunculan coworking space, kedai kopi, hingga distro telah menunjukkan perubahan tersebut secara bertahap. Alih-alih berbisnis di sektor manufaktur, investor di kota akan cenderung menanam modalnya pada sektor-sektor ekonomi kreatif karena permintaannya semakin meningkat. Kecintaan mereka pada hal-hal yang otentik dan bersifat historis juga membawa perubahan bagi ruang-ruang di kota karena berkonsekuensi pada pelestarian bangunan historis di kota (Bayliss 2007, 893). Singkatnya, cagar budaya di kota, gedung pertunjukan yang rutin mengadakan pentas, hingga pedestrian kota tidak akan punah seiring menguatnya posisi kota kreatif ini sebagai sebuah kebijakan dalam pembangunan kota. Kelas kreatif akhirnya akan mengubah wajah kota secara lebih masif beberapa tahun ke depan.
Bagaimana konsep ini diterapkan di berbagai kota di dunia? The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO mempromosikan konsep kota kreatif sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan (UNESCO 2020). Setiap kota berspesialisasi untuk menimbulkan keunggulan kompetitif dengan kota lainnya di dunia. Sebut saja Toronto, kota terpadat di Kanada, dengan kreativitas seni medianya yang kuat. Segala macam gubahan seni media dapat ditemukan dengan mudah di Toronto. Pusat-pusat seni media saling berkolaborasi satu sama lain, baik sektor swasta maupun kampus. Tak kalah dengan Toronto, Pekalongan sebagai wakil Indonesia juga disebut sebagai kota kreatif pada bidang seni kerajinan dan cerita rakyat. Pekalongan sudah dikenal sebagai kota batik secara luas oleh masyarakat. Uniknya, pemberdayaan kerajinan batik telah menjadi salah satu fokus dalam perencanaan pembangunan oleh pemerintah lokal. Dalam kreativitas musik, nampaknya Bologna (salah satu kota di Italia) juga menjadi tujuan wisata kreatif dalam bidang ini. Tak ayal, masing-masing kota pada akhirnya akan bergerak ke arah pengembangan ekonomi berbasis kreativitas sesuai spesialisasinya. Ruang publik di dalam kota kreatif akan bertransformasi dalam mengakomodasi geliat kelas kreatif di dalam perkotaan.
INDUSTRI KREATIF DI KOTA
Bila mengacu pada sisi ekonomi, istilah industri kreatif telah dikenal sejak dua puluh tahun yang lalu untuk menjelaskan ranah aktivitas tertentu yang didukung oleh kemajuan teknologi. Dalam hal ini, industri kreatif dapat ditemukan dalam ranah teater, seni tari, musik, film, seni rupa, dan heritage–meskipun istilah ini dapat dibilang kontroversial karena beberapa orang yang bekerja di ranah tersebut merasa sedikit meragukan bahwa mereka bekerja di sektor ‘industri’.
Terlepas dari istilah industri kreatif tersebut, ranah ini merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi untuk beberapa negara dan memberi kontribusi terhadap tingkat employment dengan jumlah yang signifikan. Sektor ini telah menyediakan 29,5 juta pekerjaan dengan pendapatan US$2,25miliar secara global (EY 2015). Untuk Indonesia, industri kreatif juga tengah menjadi sorotan karena menyumbang nilai cukup signifikan terhadap perekonomian di Indonesia. Menurut data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia tahun 2017 sebesar 7,2 persen. Triawan Munaf, Kepala Bekraf pada saat itu mengatakan bahwa subsektor musik, film, dan aplikasi gawai serta gim juga memiliki efek berganda terhadap perekonomian nasional. Produk ekonomi kreatif nasional juga memiliki jumlah ekspor yang tinggi. Jumlahnya mencapai US$ 20,50 miliar pada tahun 2017 dan memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi mencapai angka 17 juta orang di tahun 2019. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada saat itu, Mari Elka Pangestu, mengatakan sektor ekonomi kreatif merupakan sektor keempat terbesar dari sepuluh sektor ekonomi nasional dalam hal penyerapan tenaga kerja setelah sektor pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan, perdagangan, hotel & restoran, serta sektor jasa secara berurutan. Dalam hal ini, subsektor industri kreatif yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah subsektor fesyen, kuliner, dan kerajinan dengan pertumbuhan tertinggi di subsektor kerajinan sebesar 1,42 persen.
Meskipun begitu, industri kreatif dalam ruang-ruang kota masih memiliki beberapa kendala. Salah satunya, pelaku usaha masih kehilangan potensi ekonomi serta efek pengganda dalam pengembangan industri kreatif melalui Hak Kekayaan Intelektual (Haki) yang tidak dimonetisasi. Padahal, hal ini menjadi kunci kekayaan industri kreatif. Wakil Kepala Bekraf saat itu, Ricky Pesik, menyatakan hak paten serta royalti bisa menjadi stimulus untuk peningkatan penghasilan. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga industri kreatif agar bisa beradaptasi dalam persaingan pasar yang ketat. Selain itu, sumber daya manusia, baik secara kuantitas maupun kualitas, juga menjadi kendala dalam pengembangan industri kreatif. Mantan Wakil Presiden Boediono, pada tahun 2012 dalam wawancara Kompas, menyatakan sebagian besar pelaku industri kreatif belajar secara otodidak sehingga kualitasnya belum cukup merata.
Namun, terlepas dari kendala yang muncul, ada beberapa potensi dari pengembangan sektor kreatif ini yang perlu dikembangkan, khususnya di kawasan urban. Struktur demografi penduduk yang mayoritas saat ini berada di usia muda menjadi peluang yang besar untuk pengembangan sektor kreatif. Faktor urbanisasi yang meningkat dan semakin beragamnya wadah kreativitas masyarakat membawa kultur baru terhadap kota. Oleh karena itu, antisipasi perlu dilakukan, setidaknya, pihak berwenang perlu menyediakan ruang publik bagi kelas kreatif di perkotaan untuk bergeliat—membawa hegemoni baru dalam perekonomian. Tenaga kerja kreatif yang formal juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam penyediaan jaring pengaman sosial bagi mereka yang mengalami guncangan dalam pasar ekonomi kreatif ini. Kelembagaan sektor kreatif di kota perlu dibentuk untuk mengakomodasi pelaku-pelaku di industri ini. Pada akhirnya, masa depan kota bukan industri berasap yang membawa polusi, melainkan kemajuan peradaban dari masyarakatnya yang kreatif.



–
DAFTAR PUSTAKA
Batty, Michael dan Stephen Marshall. 2009. “The evolution of cities: Geddes, Abercrombie and the new physicalism.” The Town Planning Review 80, no. 6 (November): 551 – 574
Bayliss, Darrin. 2007. “The Rise of the Creative City: Culture and Creativity in Copenhagen, Denmark.” European Planning Studies 15, no. 7 (Agustus): 889 – 903
Bekraf. 2017. Profil Usaha/Perusahaan 16 Subsektor Ekraf Berdasarkan Sensus Ekonomi 2016. Jakarta
Evans, Graeme. 2009. “Creative Cities, Creative Spaces, and Urban Policy.” Urban Studies 46, no 5&6 (Mei): 1003 – 1040
Miles, Malcolm. 2013. “A Post-Creative City?” RCCS Annual Review 5, no. 5: Diakses pada 11 April 2020. https://doi.org/10.4000/rccsar.506
UNESCO. 2020. “What is the Creative Cities Network?” Creative Cities Network. Diakses pada 12 April 2020. https://en.unesco.org/creative-cities/content/about-us
Yencken, David. 2013. “Creative Cities.” Dalam Space Place & Culture, Disunting oleh Helen Sykes, 1-21. Australia: Albert Park, Future Leaders
Discussion about this post