Oleh Satria Aji
Dunia penerbangan kembali menghadapi masalah yang cukup berat. Tahun lalu, seluruh maskapai penerbangan di dunia sudah cukup direpotkan akibat keputusan dari berbagai otoritas penerbangan yang mengharuskan armada Boeing 737MAX untuk di grounded sementara akibat adanya kelemahan pada sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS). Hal ini mengakibatkan 2 kecelakaan fatal: Ethiopian Airlines penerbangan ET302 dan Lion Air penerbangan JT610 pada tahun 2018.
Tahun ini, ujian yang lebih berat menimpa industri ini: Penghentian sementara operasional untuk mencegah laju penyebaran coronavirus disease 2019 atau Covid-19 yang menjadi pandemi global sejak 12 Maret 2020. Ujian kali ini lebih berat karena dampaknya dirasakan seluruh maskapai. Terhentinya operasi tentunya berakibat fatal, mulai dari masalah ketersediaan parkir bagi pesawat, pembayaran navigasi dan ground handling, sampai biaya leasing pesawat dan kontrak lainnya. Reaksi beragam dari maskapai pun muncul, dari penyesuaian jumlah karyawan (baik berupa PHK, pemotongan gaji atau cuti tidak dibayar) hingga penyesuaian armada (pensiun dini bagi armada yang akan digantikan/sudah tua).
Pendapatan pun diprediksi turun tajam seiring menurunnya jumlah permintaan yang ada, bahkan turunnya permintaan ini lebih buruk dibandingkan pasca kejadian 9/11[1]. Data dari McKinsey (April 2020) menyatakan penurunan nilai pasar di industri commercial aerospace sebesar 46% dan menjadi yang tertinggi di antara industri lain. Penelitian lanjutan dari International Air Transport Association (IATA) pada bulan April 2020 memprediksikan bahwa pada kuartal 2 saja, maskapai penerbangan seluruh dunia akan “bakar uang” dengan total US$61 miliar, dan hampir 60% dari kerugian tersebut habis untuk me-refund tiket dan tiket yang tidak terjual. Kemudian, untuk prediksi tahunannya, maskapai seluruh dunia rugi US$252 miliar untuk tahun 2020[2].
Sebelumnya, pada Februari 2020, dengan skenario bahwa pola Covid-19 ini akan mirip seperti SARS, IATA memprediksikan untuk pasar Asia-Pasifik, dampak Covid-19 terhadap pendapatan lebih besar 4% jika dibandingkan dengan kerugian yang dialami saat pandemi SARS pada tahun 2002. Salah satu faktor yang bisa mempengaruhi beratnya dampak yang dihadapi sekarang adalah pertumbuhan pesat yang terjadi di pasar penerbangan seluruh dunia setelah periode SARS selesai. Pertumbuhan pesat tersebut meliputi kenaikan dari jumlah armada, jumlah penumpang yang dibawa, dan rute yang dilayani. Sederhananya, maskapai tersebut kini besar economies of scale dan besar network size nya. Selain itu, mulai banyak maskapai penerbangan berbiaya hemat yang juga menikmati pertumbuhan pesat di berbagai negara seperti AirAsia, Lion Air, Scoot, Norwegian, Flydubai dan Westjet.
Masalah lain yang dihadapi maskapai penerbangan kali ini adalah likuiditas, banyak maskapai yang tidak punya cukup uang untuk menutup biaya operasional selama tidak beroperasi. Menurut IATA, rata-rata maskapai penerbangan seluruh dunia hanya kuat menahan beban operasional untuk kurang dari tiga bulan. Namun, faktanya, angka tersebut disebabkan banyak maskapai penerbangan yang keadaan finansialnya sudah “rapuh” dalam lima tahun terakhir. Keadaannya pun variatif di berbagai pasar. Sebagai contoh, untuk pasar Amerika Serikat, rata-rata maskapai penerbangan masih mempunyai cukup uang untuk menutup biaya operasional selama 8 bulan[3]. Sementara untuk pasar Eropa, maskapai biaya hemat seperti Ryanair dan Wizzair kemungkinan dapat bertahan selama 5-6 bulan, paling kuat dari maskapai penerbangan lainnya yang rata-rata hanya dapat bertahan kurang dari 4 bulan[4]. Untuk pasar Asia-Pasifik, maskapai AirAsia diberitakan hanya mampu bertahan selama kurang dari 5 bulan[5]. Tentunya untuk mengatasi masalah likuiditas, harapan terbaik dari setiap maskapai adalah pemerintah negara terkait dan perusahaan-perusahaan pendukung operasional (ATC, Ground Handling, dsb.). Beberapa negara seperti Qatar, Selandia Baru, Inggris, dan Australia sudah memberikan bantuan pinjaman untuk meringankan beban likuiditas yang dihadapi maskapai penerbangan.
Untuk meringankan beban kerugian, berbagai cara juga dilakukan banyak maskapai penerbangan agar tetap bisa menghasilkan uang. Seperti Emirates dan American Airlines, mereka mengkonversikan beberapa armadanya agar bisa memuat kargo saja. Contoh lain yang juga terdapat di Indonesia adalah maskapai Sriwijaya Air, Indonesia AirAsia, dan Express Air yang kini melayani penerbangan charter untuk berbagai keperluan, seperti penerbangan repatriasi, kargo ataupun evakuasi medis (medevac).
Lalu, bagaimana dengan pemulihannya? Jika dilihat dari grafik yang didapat dari hasil penelitian awal oleh IATA, saat pandemi SARS, volume penumpang yang diangkut (dalam satuan Revenue-Passenger-Kilometer atau RPK) baru mulai pulih dalam kurun waktu tiga sampai empat bulan setelah puncak dari pandemi tersebut. Sayangnya, masa pemulihan bagi maskapai setelah Covid-19 berakhir akan memakan waktu yang lebih lama, “Butuh waktu beberapa tahun bagi industri maskapai agar mendapat volume penumpang seperti yang diekspektasikan pada 2020—mungkin 2022 atau 2023,” menurut perusahaan penyedia data, Official Airline Guide (OAG). Sementara menurut penyedia data penerbangan lainnya, Cirium, mengatakan bahwa, “Kami percaya bahwa industri penerbangan akan terlihat berbeda setelah semua ini selesai.”[6] Boston Consulting Group (BCG) merilis analisa berbasis skenario bagaimana maskapai bisa memulihkan operasinya—dan berdasarkan empat skenario yang dapat terjadi dengan tingkat likelihood sedang-tinggi, diperlukan waktu setidaknya satu tahun bagi maskapai untuk bisa kembali beroperasi penuh di era “new normal” nanti[7]. Dalam laporan lanjutannya, IATA juga mengisyaratkan kemungkinan pemulihan yang lebih lama bila terjadi resesi.
Ini adalah turbulensi yang sangat berat bagi maskapai penerbangan di seluruh dunia. Mengingat betapa penting dan vitalnya maskapai bagi perekonomian suatu negara, utamanya negara yang sangat bergantung dari pariwisata, semoga—baik maskapai, perusahaan penyangga operasional, maupun pemerintah dapat bersama-sama mengelola krisis ini dengan baik sehingga bisa meminimalisir dampak, mempercepat pemulihan.
–
Referensi:
[1] A. Chua, “February travel demand slump worst since 9/11: IATA,” Flight Global, Apr. 03, 2020. https://www.flightglobal.com/airlines/february-travel-demand-slump-worst-since-9/11-iata/137719.article (accessed Apr. 13, 2020).
[2] “IATA: Airlines need $US200 billion in liquidity to face ‘apocalypse,’” MercoPress. https://en.mercopress.com/2020/03/26/iata-airlines-need-us200-billion-in-liquidity-to-face-apocalypse (accessed Apr. 13, 2020).
[3]Russell, E. (2020, April 6). How long will US airlines’ cash last? It depends on the carrier. Retrieved April 13, 2020, from https://thepointsguy.com/news/us-airlines-cash-reserves-coronavirus/
[4]CAPA. (2020, March 18). Wizz Air & Ryanair lead Europe on liquidity for COVID-19. Retrieved April 13, 2020, from https://centreforaviation.com/analysis/reports/wizz-air–ryanair-lead-europe-on-liquidity-for-covid-19-517608
[5]Yusof, A. (2020, April 8). AirAsia may last less than five months on current conditions, may raise RM1bil debt. Retrieved April 13, 2020, from https://www.nst.com.my/business/2020/04/582382/airasia-may-last-less-five-months-current-conditions-may-raise-rm1bil-debt
[6] J. Freed and D. Shepardson, “Airline industry braces for lengthy recovery from coronavirus crisis,” Reuters, Apr. 03, 2020.
[7] D.-M. Molenaar, F. Bosch, J. Guggenheim, P. Jhunjhunwala, H.-H. Loh, and Wade, “The Post-COVID-19 Flight Plan for Airlines | BCG,” https://www.bcg.com. https://www.bcg.com/publications/2020/post-covid-airline-industry-strategy.aspx (accessed Apr. 13, 2020).
IATA Reports References:
IATA Economics’ Chart of the Week: COVID-19: Initial data point to a larger impact than SARS. IATA. Feb 21, 2020. https://www.iata.org/en/iata-repository/publications/economic-reports/covid-19-initial-data-point-to-a-larger-impact-than-sars/[pdf]
Wider economic impact from air transport collapse. IATA. Apr 07, 2020. https://www.iata.org/en/iata-repository/publications/economic-reports/covid-19-wider-economic-impact-from-air-transport-collapse/ [pdf]
Cash burn analysis. IATA. Mar 31, 2020. https://www.iata.org/en/iata-repository/publications/economic-reports/covid-19-cash-burn-analysis/ [pdf]
IATA Economics’ Chart of the Week: Liquidity is crucial for airlines to overcome COVID-19 pandemic. IATA. Mar 13, 2020. https://www.iata.org/en/iata-repository/publications/economic-reports/liquidity-is-crucial-for-airlines-to-overcome-covid-19-pandemic/
Discussion about this post