Tahukah kalian bahwa nilai uang kuliah tunggal (UKT) akan naik lagi? Isu tersebut menjadi bahan perbincangan yang sedang hangat di kalangan mahasiswa Uniersitas Gadjah Mada (UGM) saat ini. Wacana kenaikan nilai UKT telah meresahkan sebagian besar mahasiswa UGM. Biaya kuliah yang sudah tinggi telah cukup membebani keuangan sebagian keluarga mahasiswa dan akan semakin berat bilamana wacana tersebut terlaksana. Masihkah kampus kita berpihak pada rakyat?
BPPM Equilibrium bekerjasama dengan Departemen Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (BEM FEB) UGM akan mengulas isu tersebut untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa FEB UGM terhadap keberadaan wacana tersebut.
Menyoal UKT
Uang kuliah tunggal, atau akrab disebut UKT, adalah sebuah sistem yang diciptakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional yang diharapkan akan memberikan banyak kemudahan, baik bagi mahasiswa, perguruan tinggi, maupun pemerintah. Penerapan sistem UKT juga diharapkan dapat menciptakan keadilan dengan nilai UKT yang sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing keluarga mahasiswa. Biaya Kuliah Tunggal (BKT) menjadi patokan utama untuk menentukan nilai UKT. Nilai UKT sendiri tidak boleh melebihi nilai BKT. Selisih antara UKT dan BKT akan ditutup oleh Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.
Meskipun telah dirancang sedemikian rupa, sistem ‘impian’ ini masih menyimpan banyak kekurangan. Keadilan yang ditawarkan oleh sistem ini ternyata tidak benar-benar adil. Contoh ketidakadilan tersebut, misalnya penggolongan UKT yang hanya melihat pendapatan kotor orang tua tanpa melihat faktor lain, seperti jumlah tanggungan dan indeks kemahalan daerah. Sistem ini juga tidak dibarengi dengan standar prosedur yang jelas untuk melakukan penundaan, penurunan, maupun penyesuaian beban UKT. Sudah banyak cerita menyedihkan soal kesulitan tersebut di berbagai universitas di Indonesia, mulai dari yang terancam cuti hingga yang di drop out karena tidak mampu membayar uang kuliah.
Kenapa kok bisa naik?
Kenaikan UKT, menurut pihak rektorat Universitas Gadjah Mada, bertujuan untuk mendukung rencana subsidi silang yang akan segera diterapkan. Subsidi silang ini akan membiayai mahasiswa yang berada pada golongan UKT 1 dan 2. Namun, rencana ini menuai keraguan mahasiswa. Faktanya, penerima beasiswa Bidikmisi menurun dari tahun ke tahun. Data dari kajian Umar Abdul Aziz (mahasiswa prodi Politik dan Pemerintahan 2012) menyatakan bahwa penerima beasiswa Bidikmisi sebanyak 1.564 orang pada tahun 2013, lalu 864 orang pada tahun 2014, dan 721 orang pada tahun 2015. Kenaikan UKT juga didorong oleh faktor penurunan nilai BOPTN yang dianggarkan dalam APBN 2016. Komisi X DPR, lewat dpr.go.id, menyatakan tengah merencanakan revisi untuk besaran BOPTN pada Mei mendatang.
Terus, kenapa kok mahasiswa protes?
Wacana kenaikan UKT ini menuai kritik keras dari kalangan mahasiswa. Salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan alasan naiknya nominal UKT yang akan dibebankan. Alasan yang diberikan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. pada hearing 21 April 2016 yang lalu di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), yaitu untuk memberikan subsidi silang kepada mahasiswa kurang mampu, dianggap tidak relevan karena bertolak belakang dengan data yang ada. Mahasiswa juga memprotes penentuan golongan UKT oleh universitas selama ini hanya mempertimbangkan pendapatan kotor keluarga tanpa melihat faktor-faktor lainnya. Padahal berdasarkan UU No.12 Tahun 2012 Pasal 88 ayat 4, penentuan nominal UKT harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan pihak lain yang membiayainya. Namun begitu, pada kenyataannya masih banyak yang merasa keberatan dengan besaran yang dibebankan kepada mereka. Selain itu, mahasiswa dari beberapa fakultas juga masih dibebani oleh uang praktikum dan pungutan-pungutan lainnya yang ternyata tidak dimasukkan dalam perhitungan BKT. Hingga saat ini, kesulitan masih dialami oleh mahasiswa dari beberapa fakultas di UGM ketika akan mengajukan penurunan, penyesuaian, maupun penundaan bayar UKT. Sekalipun berhasil, penurunan, penyesuaian, maupun penundaan tersebut hanya akan berlaku selama satu semester. Dihadapkan pada keadaan tersebut, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa proses penurunan, penyesuaian, dan penundaan bayar dapat dijalani dengan mudah dan secara terbuka.
Perlu kita sadari bahwa masalah ini adalah masalah kita bersama. Tugas kita bukan untuk melawan perubahan, bukan juga untuk sekadar melawan penguasa. Tugas kita adalah menjunjung tinggi keadilan demi akses pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka yang kesulitan bukan hanya dari satu atau dua fakultas saja. Mereka yang kesulitan mungkin saja berada di tengah-tengah kita tetapi lebih memilih untuk diam. Apa kata mereka yang sudah pernah berjibaku dengan segala kesulitan prosedur pengurangan, penyesuaian, dan penundaan bayar? Bagaimana pula pendapat mereka mengenai wacana kenaikan UKT yang akan datang?
Nantikan ulasan selanjutnya!
[Immanuel Satya/EQ, Mashita Anindya/BEM FEB UGM]