Teriakan “Take Back Control” terdengar nyaring didengungkan di hari-hari menjelang pemungutan suara untuk pengambilan keputusan politik rakyat Inggris, Brexit. Kasak-kusuk politisi dan lobi tingkat tinggi bergolak dalam sistem politik Inggris. Saling serang antara kubu i’m in dan i’m out menjadi sangat sengit. Eksperimen politik yang dilakukan oleh sekelompok orang mempengaruhi opini seantero publik Inggris. Dominic Cumming yang saat itu menjadi otak dibalik propaganda exit pun dihajar oleh politisi konvensional yang berada di kubunya. Dirinya dianggap anti kemapanan, menerobos aturan dan membuat permainan yang sama sekali baru dalam percaturan politik Inggris.
Ia membuat penghujung Juni 2016 menjadi hari di mana Uni Eropa koyak di bagian ujung barat. Koyakan tersebut muncul saat Inggris membuat sebuah kejutan dengan mengumumkan pengunduran dirinya dari Uni Eropa. Hal ini diumumkan David Cameron, selaku Perdana Menteri Inggris saat itu, setelah melihat hasil jajak pendapat yang diberikan pada seluruh rakyat Inggris. Jajak pendapat tersebut mengatakan bahwa 51 persen masyarakat Inggris setuju jika Inggris harus keluar sebagai anggota Uni Eropa. Gerakan ini didukung berbagai alasan yang bersifat sosio-politik. Salah satu alasan utamanya adalah anggapan bahwa Inggris harus mengambil keputusan mengenai kesejahteraan negaranya secara independen. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kedaulatan Inggris di mata dunia.

Namun, kebijakan ini malah menelurkan serentetan efek buruk untuk perekonomian Inggris. Sehari setelah keluarnya kebijakan tersebut, nilai tukar Poundsterling terhadap Dolar Amerika Serikat melemah drastis dari $1.5 ke $1.37 per Pound. Nilai tukar ini merupakan yang terlemah selama tiga puluh tahun terakhir. Beberapa perkiraan juga mengatakan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris akan menyusut ke depannya. Banyak pihak memperkirakan bahwa jumlah penyusutan PDB Inggris akan membuatnya lebih kecil 10 persen dibandingkan saat Inggris masih menjadi anggota Uni Eropa.

Selain itu, Inggris juga harus melaksanakan banyak negosiasi politik yang berkepanjangan. Durasi yang diperlukan untuk menyusun negosiasi-negosiasi tersebut bahkan bisa mencapai satu dekade. Selain itu, ada banyak ketidakpastian politik yang membayangi banyak pihak di Uni Eropa dan Inggris. Ketidakpastian dan kerumitan ini perlu ditangani oleh para politisi dan penggerak Brexit dengan baik. Tapi bagaimana dengan jejak Perdana Menteri David Cameron? Ia mengundurkan diri sehari setelah pernyataan Brexit dikeluarkan dan digantikan oleh Theresa May.
Penetrasi sistem demokrasi
Hal-hal yang sudah terjadi di atas jelas bukan hasil yang diinginkan oleh para pendukung Brexit. Mereka berpikir bahwa manuver Brexit akan mudah dilaksanakan dan tidak memiliki konsekuensi yang singkat. Nyatanya, setiap kebijakan yang menyangkut keberlangsungan negara harus diambil setelah mempertimbangkan banyak faktor. Ekonomi, politik, sosial, kesehatan, lingkungan, dan tatanan pemerintahan tentu mengalami perubahan yang ekstrim dalam kasus ini. Akibatnya, mayoritas masyarakat yang memilih “ya” dalam referendum kemarin cenderung menyesali keputusan mereka. Hal ini tercermin dari survei post-brexit YouGov yang menunjukkan bahwa 54 persen rakyat Inggris sadar bahwa memilih brexit adalah keputusan yang salah.

Anggapan bahwa manuver dan keputusan politik suatu negara dapat dilakukan dengan mudah menandakan bahwa ada yang salah dalam sistem politik yang dianut. Ketidakpahaman masyarakat akan ilmu sosial yang kompleks dibarengi dengan tidak memiliki kapabilitas berujung pada keputusan yang morat marit dalam sistem politik. Kebutaan pemilih yang tidak memiliki kapabilitas dalam memilih inilah yang dapat dimanipulasi dalam sistem demokrasi.

Jajak pendapat Brexit hanyalah salah satu contoh kekacauan yang disebabkan kebutaan masyarakat terhadap suatu isu. Kebutaan ini akan tercermin dalam Dalam sistem perpolitikan Inggris, saat emosi masyarakat dimanipulasi sehingga pilihan keluar dari Uni Eropa menjadi menggiurkan. Emosi yang terakumulasi semakin efektif karena rakyat terkungkung dalam ketakutan menjadi pengangguran akibat datangnya jutaan imigran dari negara Uni Eropa yang lebih miskin – yang lebih mungkin terjadi jika Inggris masih menjadi anggota Uni Eropa. Alasan keluar juga diperkuat oleh berbagai macam persoalan yang kultural yang menjadi topik hangat dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua hal diatas sangat mempengaruhi keputusan politik dalam setiap individu masyarakat Inggris. Refleksi dari emosi, kekecewaan serta kekhawatiran tersebutlah yang dieksploitasi kemudian dicerminkan dalam pilihan politik melalui sistem voting. Akibatnya, hasil voting yang tidak berdasarkan pola pikir rasional akan mengacaukan arah negara. Apa yang menyebabkan manipulasi ini mudah terjadi dan mudah diatur?

Alasannya terletak pada nilai fundamental demokrasi di mana semua orang dianggap sama. Kesamaan hak dalam mengambil keputusan yang kemudian dihitung secara agregat tentu tidak mempertimbangkan kapabilitas dari seseorang baik orang itu mengerti sejarah atau tidak, mengerti ekonomi atau tidak, ataupun mengerti filsafat atau tidak. Pengesampingan kapabilitas tersebut akan menghasilkan kekacauan seperti yang diilustrasikan di atas. Lantas, hal ini bisa menjadi dasar untuk memikirkan ulang sistem demokrasi. Apakah benar bahwa apa yang dipilih rakyat merupakan tangan Tuhan? Atau rakyat hanya sebatas tangan politisi yang dibungkus dengan cap “Tuhan”?
Demokrasi sebenarnya diciptakan agar keputusan yang diambil oleh negara dapat mencakup dan memenuhi kepentingan setiap lapisan masyarakat. Demokrasi juga dijunjung agar setiap pihak bisa turut andil dalam menentukan masa depan negara mereka. Namun, apakah kemauan rakyat selalu berjalan searah dengan kepentingan negara secara politis? Meskipun demokrasi diciptakan untuk menjawab tujuan tersebut secara optimis, jawabannya adalah tidak. Ada divergensi antara hasil yang diinginkan negara dan yang diinginkan masyarakat.
Divergensi ini tercermin dari sikap negara dalam mengambil suatu keputusan. Ketidaksinkronan ini terjadi karena perbedaan dari jutaan isi kepala orang bercampur menjadi satu, baik dari masyarakat kompeten maupun yang tidak kompeten. Kemudian menjadi riak riak dalam sistem yang apabila terlalu banyak riak, jelek pula kualitasnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem demokrasi sendiri secara detail memiliki banyak lubang di segi persebaran informasi. Rangkaian pelaksanaan demokrasi sendiri kini tidaklah jauh dari sistem pemilihan berbasis elektoral. Prinsip yang dijunjung dalam demokrasi adalah anggapan bahwa popularitas harus dibangun untuk meningkatkan elektabilitas. Sementara itu, pemahaman isu dan informasi justru dikesampingkan. Para politisi dan penguasa menjual kebijakan yang bersifat politis untuk menyenangkan jiwa masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang tidak mau mencari informasi dari berbagai aspek akan mudah tergiur oleh kebijakan yang ditawarkan. Akibatnya, demokrasi hanya menjadi sebatas alat untuk meraih kekuasaan.
Sistem Garbage In, Garbage Out
Akibat fenomena Brexit dan akibatnya di atas, berbagai perdebatan pun muncul dalam teori pemikiran berpolitik. Perdebatan ini dipicu oleh keheranan dunia terhadap keputusan politik yang diambil masyarakat dan petinggi politik Inggris, yang dianggap tidak rasional dan optimal. Berbagai pemikir politik pun mempertanyakan sistem demokrasi yang selama ini menjadi panutan. Bentuk pertanyaan tersebut adalah: Apakah benar demokrasi merupakan sistem yang paling tepat untuk dijalankan?
Di tengah panasnya pertanyaan tersebut, pendekatan melalui epitokrasi muncul kembali. Epitokrasi dapat dikatakan sebagai sistem politik dimana hak dan wewenang politik suatu individu disesuaikan dengan kemampuan dan spesialisasi individu tersebut. Orang yang memiliki pengetahuan lebih dalam ilmu sosial dan kapabilitas dalam mengambil keputusan politik akan diberikan strata yang lebih tinggi dalam pemilihan. Sebaliknya, orang yang memiliki pengetahuan rendah akan diberi hak pilih sebatas hak pilih dasar. Sehingga keputusannya tidak dinilai lebih tinggi dari yang lebih berpengetahuan.
Lantas, apakah seseorang akan merasa dilecehkan jika dia tidak mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara? Seharusnya tidak, karena hal itu layak dalam keadaan tertentu. Dalam pengambilan kebijakan, kapabilitas seharusnya menjadi poin utama dari pemilihan aktor pembuat kebijakan. Dalam ekonomi misalnya, seorang yang berprofesi sebagai pedagang bakso tentu tidak akan dijadikan menteri ekonomi. Hal ini dianggap justru “melecehkan” penjual bakso dikarenakan hal tersebut bukanlah keahlian dibidangnya. Begitu pula dengan pengambil keputusan politik – di mana dalam hal ini terfokus pada “pemilih”. Dengan asumsi yang sama, seharusnya orang yang tidak memiliki kapabilitas dalam mengambil keputusan seharusnya tidak diberi hak untuk mengambil posisi tersebut. Ini dilakukan karena si pemilih tersebut tidak bisa mempertmbangkan banyak hal secara mumpuni untuk memikirkan keputusan politik yang baik.
Prinsip “eksklusivitas” yang ditekankan dalam epitokrasi bisa dijadikan pijakan untuk meningkatkan kualitas pemilih. Hal ini senada dengan prinsip garbage in, garbage out – yang mana kualitas bahan baku akan berpengaruh pada kualitas produk jadi. Dengan demikian, kita dapat mengeliminasi hasil voting yang tidak bermutu (Brennan, 2016). Voting yang tidak bermutu dapat muncul dari beberapa pihak yang hanya mengedepankan kepentingan tertentu dalam mengambil suatu keputusan. Hasil voting dari pihak-pihak ini dapat menambah keramaian politik suatu negara. Sebenarnya ini bisa ditanggapi secara positif, karena negara itu terlihat berhasil menaungi banyak pihak lewat banyaknya suara yang berbeda.

Namun, riuh rendah demokrasi yang terlalu bising justru bisa mengurangi mutu kebijakan yang dipilih. Layaknya suara dalam kehidupan sehari hari, terlalu banyak merupakan eksternalitas negatif yang sia-sia. Begitu pula dengan kuantitas voting yang dihimpun. Pada titik tertentu, voting yang berkualitas akan menimbulkan harmoni dalam sebuah sistem politik. Semakin banyak jumlahnya tanpa memperhatikan mutu hanya menjadikannya polusi. Polusi yang ada bisa dikurangi melalui metode epitokrasi yang ditawarkan di atas.
Jika tidak semua memilih, apakah akan masih senasib sepenanggungan?
Namun, jika memikirkannya lebih dalam lagi, tidak dipungkiri bahwa seluruh masyarakat masih perlu mendapat kesempatan yang sama dalam berpolitik. Mereka perlu diperhatikan, didengar, dan didorong untuk beraksi dalam politik. Seluruh kegiatan politik mereka juga penting untuk membuat kebijakan publik. Eksklusivitas yang dijunjung epitokrasi justru berlawanan dengan tujuan yang dipaparkan sebelumnya. Selain itu, epitokrasi juga berpotensi mematikan banyak suara yang seharusnya didengar. Ujung-ujungnya kebijakan yang dihasilkan akan hanya mewakili kepentingan golongan tertentu saja. Ditambah lagi sistem politik yang inklusif sendiri memiliki nilai intrinsik puncak yaitu sesuai dengan tujuan negara penganut. Lantas, apakah eksklusivitas dalam epitokrasi bisa dikatakan adil?
Tidak dapat dipungkiri bila sistem epistrokrasi menutup keterbukaan sistem politik dari suatu negara. Sistem yang tertutup dianggap rawan membawa suatu negara kepada kemunduran. Hal tersebut dikarenakan kekuasaan bisa terkonsentrasi pada suatu kelompok tertentu yang dapat mengeksploitasi pihak lain. Namun, penilaian tersebut kurang tepat. Dalam berbagai kasus yang terjadi malah sebaliknya. Pihak yang ada memang mementingkan masyarakat, namun pelaksanaan kebijakan penyokong kepentingan dilakukan tanpa alasan yang rasional. Faktor keterbukaan sistem pengambilan keputusan bisa menjadi bumerang.
Mari menelaah kasus Ebola di Afrika sebagai contoh kasus. Para ahli kesehatan telah memberikan rekomendasi yang tepat dalam menurunkan tingkat penyebaran Ebola di seluruh Afrika. Akan tetapi kenyataan di lapangan menyatakan bahwa hal tersebut ternyata tidak berdampak signifikan. Setelah diusut, hal tersebut disebabkan oleh kepercayaan pihak terlibat yang kurang kompeten dalam bidang kesehatan. Mengapa begitu?
Setelah diusut, pihak tersebut beranggapan bahwa penyembuhan adat dianggap mampu meminimalisir datangnya marabahaya Ebola. Mereka cenderung tidak percaya pada pengobatan modern dari Barat. Di sisi lain, hanya menunggu pengobatan tradisional menjadi benar dan tepat dalam mengatasi virus Ebola tentu bisa membunuh banyak rakyat Afrika. Hal ini mengimplikasikan bahwa mereka hanya menerka-nerka kalau pengobatan tradisional lebih bisa diandalkan untuk mengobati virus Ebola. Walhasil, kepercayaan ini mengganggu persebaran obat Ebola di daratan Afrika.
Trial and error dalam sistem demokrasi hampir mirip dengan kasus pengobatan Ebola di daratan Afrika. Dalam konteks kasus Brexit, inklusivitas sistem politik di Inggris memungkinkan orang yang tidak kompeten untuk berpolitik. sehingga secara tidak langsung seluruh warga negara mencoba-coba (trial and error) untuk mendapatkan keputusan politik yang tepat. Secara langsung, hal tersebut berdampak pada menurunnya kualitas keputusan politik yang ada, misalnya dengan terjadinya Brexit. Keputusan yang tidak optimal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian dalam berbagai sektor dari Inggris sendiri.
Perlu waktu yang lama untuk membuat formulasi formulasi kebijakan menjadi tepat lewat sistem demokrasi. Sedangkan dalam sistem epitokrasi hal tersebut jauh lebih cepat untuk dicapai. Oleh karena jika kita bedah secara lebih dalam tujuan intrinsik dari sistem politik yang inklusif adalah tercapainya tujuan dari suatu negara (baca : sejahtera), maka epitokrasi merupakan cara yang paling cepat dalam mencapai hal tersebut.
Refleksi
Riuh rendah demokrasi dalam politik Inggris belakangan tentu menyita banyak waktu banyak pihak. Berawal dari keengganan masyarakat Inggris dari rencana bergabungnya Turki ke Uni Eropa, serta manipulasi emosi terhadap isu sensitif imigrasi membawa paranoid yang akut bagi masyarakat inggris. Akibatnya, muncul isu seperti ketidakstabilan ekonomi, sentimen negatif pasar, serta paniknya para petinggi Uni Eropa yang meningkatkan ketidakpastian global.
Di sisi lain, proporsi penduduk berpendidikan tinggi tidak berkorelasi dengan kepiawaian pengambilan kebijakan publik. Inggris dan kebijakan brexit-nya adalah salah satu contoh nyata. Penetrasi sistem demokrasi yang dilakukan politisi bisa jadi merubah arah suatu bangsa secara ekstrem. Dan perubahan itu tidak selamanya akan berbuah baik untuk masyarakat.
Meskipun bisa dilakukan koreksi, tentu itu akan memakan waktu dan menguras energi. Lebih baik jika hal ini dicegah sejak awal dengan pemberian segala keputusan politik pada pihak yang memiliki kompetensi. Patut dipertimbangkan, selain keterbukaan sistem politik untuk menghajar kelompok tertentu dari kekuasaan. Sudah selayaknya jika kita memberikan kuasa pada orang yang lebih kompeten dalam pengambilan keputusan politik.
(Alan Naufal Yudistira, Aditya Satria Ramadhan/EQ)
Referensi
- Brennan, J. 2016. Against Democracy. Princeton, NJ: Princeton University Press.
- Jeffrey, A. (2017). LIMITED EPISTOCRACY AND POLITICAL INCLUSION. Episteme, 15(4), pp.412-432.
- Acemoglu, Daron, and James A Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (1st). 1st ed. New York: Crown, 529.
- Yougov.co.uk. (2019). YouGov. [online] Available at: https://yougov.co.uk/topics/brexit/survey-result [Diakses pada 25 April 2019].
Discussion about this post