Penulis: Miftakhul, M. Naufal Fauzan, Qanita Mahira/EQ
Ilustrasi Oleh: Theresa Arween/EQ
Informasi yang meruah belum tentu dijustifikasi kenetralannya. Ada pihak yang menyasar dan disasar dalam tiap pembuatan informasi. Kepentingan adalah sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari penciptaan informasi itu sendiri. Namun, kepentingan itu sangat banyak dan tak jarang berujung pada pertentangan. Pertentangan inilah yang menjadi penyulut bagi tiap pembuat informasi untuk dapat mempertahankan kepentingannya masing-masing.
Fenomena buzzer adalah satu contoh yang muncul ketika berbagai kepentingan bertemu dalam arus informasi yang bebas. Penciptaan citra sebagai pihak yang “paling baik” tentunya penting bagi berbagai pihak untuk mempertahankan kepentingannya. Buzzer yang dapat didefinisikan sebagai individu atau akun yang saling bekerja sama untuk menggiring opini tertentu dikenal efektif sebagai senjata terdepan dalam menciptakan citra positif bagi pihak-pihak berkepentingan (Esti, Camil, & Attamimi, 2017). Jika di Indonesia dengung buzzer erat kaitannya dengan kepentingan politik, di negera Paman Sam sana buzzer dikenal sebagai propagandis yang efektif dalam menjaga kepentingan bisnis.
Buku Panduan Bisnis Kuno yang Digunakan Kembali
Banyak orang mungkin menyegani John D. Rockefeller sebagai orang kaya yang baik hati dan dermawan dengan melihat betapa besar Yayasan Amal Rockefeller yang dibuatnya. Rockefeller dikenal sebagai orang terkaya sepanjang sejarah Amerika Serikat (AS). Ia meraup pundi-pundi kekayaannya dari bisnis pertambangan. Colorado Fuel and Iron Company (CFI) merupakan salah satu perusahaan tambang yang dimilikinya sejak tahun 1903.
Pada tahun 1913 hingga 1914, CFI mulai berhadapan masalah klasik, yaitu pemogokan besar-besaran penambangnya. Serikat penambang United Mine Workers of America (UMWA) yang memimpin pemogokan ternyata menghadapi perlawanan yang serius dari perusahaan. Hingga pada 20 April 1914, terjadi pembantaian Ludlow yang membunuh puluhan anggota serikat penambang.
Bertahun-tahun sejak pembantaian Ludlow, John D. Rockefeller terus ditengarai terlibat dalam tragedi tersebut. Untuk membalik citra buruk tersebut, melalui konsultan masalah perburuhan William L. Mackenzie King, CFI menciptakan kebijakan baru berupa peluncuran rutin majalah berisikan citra-citra baik perusahaan dalam proyek the industrial buletin. Cerdiknya, para pekerja sangat dilibatkan dalam proses pembuatan dan pendistribusiannya meskipun beberapa tahun sebelumnya banyak pekerja yang nyawanya dicabut oleh perusahaan itu sendiri (Patmore & Rees, 2008).
Satu abad kemudian, praktik membalik citra buruk dengan melibatkan pekerja dalam kampanye kebaikan perusahaan maupun majikan masih eksis keberadaannya. Cara ini ditiru dan dimodifikasi oleh Amazon, perusahaan retail terbesar di AS. Pengulangan ini makin terlihat sempurna mengingat Jeff Bezos sebagai pemilik Amazon telah berkali-kali menyandang titel sebagai orang terkaya di AS maupun dunia.
Seperti pada ekonomi gig lainnya, praktik kerja Amazon kerap kali dicurigai dengan eksploitasi terhadap pekerjanya. Salah satu yang mencuat perhatian luas adalah isu pekerja Amazon yang terpaksa kencing di botol karena mengejar target antaran paket. Isu ini sampai menarik perhatian anggota kongres Wisconsin, Mark Pocan yang mencuit tweet bernada sinis pada Maret 2021 (Schlosser, 2021). Dengan mengingat perdebatan publik di media sosial seperti ini sudah seringkali terjadi, sejak 2018, Amazon mempekerjakan sejumlah pekerjanya sebagai “FC ambassadors”, buzzer yang bertugas memantau percakapan publik mengenainya dan membalik tudingan miring terhadapnya.
Kata FC sendiri berasal dari Amazon FC (Fulfillment Center) yang merupakan gudang terbesar di jaringan logistik perusahaan, banyak di antaranya memiliki luas sekitar satu juta kaki persegi. Sedangkan “ambassadors” menurut Amazon adalah gelar yang diambil oleh beberapa pekerja gudang yang lebih berpengalaman dimana mereka bertugas membantu melatih karyawan baru. Namun dalam pelaksanaanya, FC ambassadors juga sekumpulan relawan pekerja senior gudang Amazon yang dengan akun Twitter-nya bersama-sama membalas thread para pekerja yang mengeluh soal kerja ala “budak” di Amazon (Menegus, 2019). Selain itu, seringkali mereka ramai-ramai membalas cuitan Bernie Sanders dan senator AS lain yang cukup vokal terhadap buruknya perlakuan pekerja di Amazon.
FC ambassadors ini tidak dapat disangkal merupakan kebijakan Amazon sendiri sebab dalam aksinya terlihat mereka menggunakan Sprinklr, enterprise social media marketing service yang biasa digunakan perusahaan-perusahaan besar. Lebih lanjut, sebuah dokumen keluaran tahun 2018 dari manajemen Amazon sempat bocor ke publik dan diketahui dokumen tersebut berisikan mengenai pembentukan FC ambassadors (Klippenstein, 2021). Memang benar, pembentukan FC ambassadors ini adalah strategi dari manajemen Amazon yang tujuannya menjaga kepercayaan konsumen dan citra baik perusahaan.
Menurut Molla (2019), FC ambassadors sebenarnya mempunyai prinsip-prinsip yang ditekankan, tell your truth, merupakan contohnya. Meski salah satu prinsipnya adalah tell your truth, secara eksplisit disebutkan FC ambassadors dilarang untuk mendukung pembentukan serikat pekerja. FC ambassadors menjadi salah satu dari banyak strategi Amazon untuk mencegah narasi pembentukan serikat pekerja dengan puja-puji pada perusahaan dan owner. Strategi ini terbukti berhasil untuk mencegah pembentukan serikat pekerja Amazon, pada tahun 2020, sebanyak 3.215 kartu suara yang diterima, para pekerja memberi suara 1.100 lawan 463 menentang pembentukan serikat di sebuah Gudang di Bessemer, Alabama (VoA, 2021).
Cara-cara Amazon memanfaatkan buzzer FC ambassadors di Twitter ini bisa dianggap berhasil. Hal itu dibuktikan dengan laporan Morning Consult (2020) yang menyebutkan kepercayaan publik AS pada Amazon mengalahkan kepercayaan mereka pada Google, institusi polisi, maupun pemerintah. Bermain citra dengan buzzer akhirnya menjadi salah satu andalan Amazon dalam menjaga reputasinya.
Penggunaan yang Berbeda di Indonesia
Kampanye politik di Indonesia lekat dengan spanduk-spanduk berjargon normatif yang membosankan dan mengotori jalanan. Televisi menjadi media adu debat kusir gagasan-gagasan yang sebenarnya tak jauh berbeda. Munculnya media sosial ternyata dilihat para aktor politik sebagai ruang kampanye baru yang penuh potensi dan tentunya lebih murah dibanding spanduk dan televisi. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012 adalah momentum pertama penggunaan buzzer dalam perpolitikan Indonesia. Pada waktu itu, ditemukan banyak kebisingan yang disebabkan oleh informasi palsu yang beredar melalui media sosial. Buzzer digunakan oleh berbagai pihak untuk menciptakan narasi-narasi yang dapat menyerang pihak lawan dengan menyebarkannya melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, baik menggunakan akun resmi maupun akun anonim (Ken Shanahan, 2021). Akibatnya, sulit untuk membedakan antara pendapat pribadi masyarakat dan pendapat kelompok yang terorganisir.
Dalam perkembangannya, buzzer terus dipergunakan dalam lanskap perpolitikan di Indonesia. Kejadian-kejadian seperti sebelumnya kembali ditemukan pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014, Pilkada DKI Jakarta tahun 2014, dan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Dugaan juga mencuat kalau fenomena buzzer ini telah berubah menjadi industri yang terdapat transaksi uang di dalamnya. Menurut Rinaldi Camil (2021), kampanye narasi-narasi politik di platform daring menggunakan buzzer dapat memakan dana yang cukup tinggi, yaitu mencapai tiga miliar rupiah per bulannya.
Dalam praktiknya kini, buzzer menjelma menjadi pasukan perlawanan yang melawan narasi bertentangan dengan pemerintah. Hal ini dapat ditemukan pada saat ramai pembahasan mengenai pelemahan KPK, pengesahan Omnibus Law, dan penanganan pandemi. Pelemahan KPK dibumbui buzzer dengan isu Taliban atau kelompok ekstremis yang berkelindan di lingkungan KPK (Hermawan, 2021). Pada saat Omnibus Law hendak disahkan, pemerintah menggunakan influencer-influencer untuk melakukan kampanye mengenai Omnibus Law dengan narasi Indonesia butuh kerja (Nugraha, 2020). Selanjutnya, terjadi pula pada penanganan pandemi, para pendukung pemerintahan Joko Widodo meramaikan media dengan menyebutkan pihak yang memaksakan untuk diterapkan lockdown, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan pendukungnya dengan istilah kadrun (Hermawan, 2020). Pada akhirnya, tiga agenda politik pemerintah tadi berhasil terlaksana meski penolakan ada di mana-mana.
Di Balik Kemewahan Demokratisasi Akses Informasi
Bising buzzer telah menjadi alat bermain citra yang efektif dengan memanfaatkan celah demokratisasi akses informasi. Di dalam masyarakat yang demokratis, cara-cara kuno meredam kritik dengan menghilangkan hak (pemblokiran, penangkapan, dan penahanan) terlalu eksplisit untuk mengundang kekhawatiran orang banyak. Untuk itu, siasat buzzer yang berlindung di balik hak kebebasan bersuara dalam memecah solidaritas keresahan masyarakat tampaknya menjadi cara jitu pembungkaman yang implisit. Inilah yang dilihat para pemegang kuasa sebagai alat mutakhir untuk melindungi kepentingannya di tengah demokrasi yang memungkinkan setiap orang mengutarakan kebenaran.
Memang betul di era informasi digital seperti sekarang ini, setiap orang yang memegang ponsel di tangannya dapat memperoleh informasi dengan begitu mudahnya. Jika melihat ke belakang saat informasi sangat sulit diakses, kemudahan ini terkadang dimaknai sebagai kemewahan yang tak terkira. Namun, beragam kepentingan yang melekat pada tiap informasi yang kita baca tak jarang membuat kita melihat kebenaran yang semu. Oleh karenanya, kebebasan akses informasi mestinya tidak hanya dilihat sebagai kemewahan, tetapi perlu juga dilihat sebagai tantangan berat dalam menemukan kebenaran yang bebas dari kepentingan.
REFERENSI
Camil , M. R. (2020). Memahami cara kerja buzzer politik Indonesia. The Conversation. https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243.
Esti, K., Camil, M. R., & Attamimi, N. H. (2017). Di Balik Fenomena Buzzer : Memahami Lanskap industri Dan Pengaruh Buzzer di Indonesia. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG). https://cipg.or.id/id/publication/buzzer/.
Hermawan, A. (2020). Politics of pandemics: How online ‘buzzers’ infect Indonesia’s democracy, jeopardize its citizens. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/academia/2020/03/21/covid-19-doesnt-care-about-politics-how-online-buzzers-infect-indonesias-democracy.html.
Hermawan, A. (2021). Commentary: Bigger threat than ite law? Political ‘buzzers’ crowding our cyberspace. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/academia/2021/06/02/commentary-bigger-threat-than-ite-law-political-buzzers-crowding-our-cyberspace.html.
Kenshanahan, A. (2021). Sejarah buzzer di Indonesia: Ada yang Bubar Karena Ditinggal Pemodal. kumparan. https://kumparan.com/kumparannews/sejarah-buzzer-di-indonesia-ada-yang-bubar-karena-ditinggal-pemodal-1vCqVcgyTfN.
Klippenstein, K. (2021). Amazon’s Twitter army was handpicked for “great sense of Humor,” leaked document reveals. The Intercept. https://theintercept.com/2021/03/30/amazon-twitter-ambassadors-jeff-bezos-bernie-sanders/.
Menegus, B. (2019). What’s an AMAZON ‘FC Ambassador’ and are They Okay?Gizmodo. https://gizmodo.com/whats-an-amazon-fc-ambassador-and-are-they-okay-1837274685.
Molla, R. (2019). Why Amazon pays warehouse employees to tweet about their jobs. Vox. https://www.vox.com/recode/2019/8/8/20726863/amazon-pays-warehouse-employees-twitter-fc-ambassadors-quillette.
Morning Consult. (2020). Distrust in America is High, But Brands Continue to Command Confidence. Morning Consult. https://morningconsult.com/form/brands-well-trusted/.
Nugraha, A. R. (2020). Polemik buzzer Omnibus Law: Influencer Tak Kompeten dan Netizen Mudah Lupa. kumparan. https://kumparan.com/kumparantech/polemik-buzzer-omnibus-law-influencer-tak-kompeten-dan-netizen-mudah-lupa-1u1uiLqhkPc
Patmore, G., & Rees, J. (2008). Employee publications and employee Representation PLANS: The case of Colorado fuel and IRON, 1915–1942. Management & Organizational History, 3(3-4), 257–272. https://doi.org/10.1177/1744935908094088
Schlosser, K. (2021). Amazon wades INTO ‘pee Bottle’ controversy and whether its workers can catch a break on the job. GeekWire. https://www.geekwire.com/2021/amazon-wades-pee-bottle-controversy-whether-workers-can-catch-break-job/.
Voice of America Indonesia. (2021). Usaha Pembentukan Serikat Buruh Amazon Kalah. https://www.voaindonesia.com/a/usaha-pembentukan-serikat-buruh-amazon-kalah-/5846756.html