Mengarungi sejarah Indonesia tak akan pernah luput dari kejayaan bangsa Indonesia di samudera. Kejayaan terus melegenda, hingga kabar ini singgah dari telinga ke telinga dan berlanjut dari generasi ke generasi. Tersohornya Sriwijaya dan Majapahit bak bahtera masyhur mengarungi zaman hingga berlabuh menjadi Indonesia masa kini. Mengikuti jejak di masa lampau, laut Indonesia merupakan warisan yang perlu diselami potensinya. Membuka kembali kejayaan di masa terdahulu, dalam pidato perdana Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Oktober 2014 silam mampu menyita atensi publik dengan menggaungkan ‘Jalesveva Jayamahe’, sebuah pengobar semangat peninggalan masa Majapahit yang berarti ‘di Laut Kita Jaya’. Tak hanya ke dalam negeri, Jokowi juga membentangkan layar hingga ranah internasional. Melalui pidatonya dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-9 East Asia Summit di Nay Pyi Taw, Myanmar (13/11/2015) yang lalu, untuk pertama kalinya Indonesia bertekad menjadi poros maritim dunia. Lima tahun telah berlalu sejak visi ini melambung. Perlahan khitah ini tenggelam tanpa kejelasan. Terpilihnya kembali Jokowi sebagai presiden membawa pertanyaan besar, ke manakah arah visi ini akan berlabuh?
Untuk mencapai poros maritim dunia, sektor kelautan merupakan jantung keberhasilan visi ini yang mana Indonesia memiliki wilayah dengan proporsi 70% lautan dan terdiri dari 16.056 pulau (BPS, 2018). Dengan demikian, secara natural, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara maritim. Poros maritim erat kaitannya dengan posisi strategis Indonesia. Letak strategis Indonesia yang berada di persimpangan jalur perdagangan dunia menjadikan Indonesia sebagai pemeran penting dalam perdagangan dunia di mana 40% pengiriman logistik lewat jalur laut dilakukan melalui perairan Indonesia. Namun, justru Singapura yang lebih mampu memanen berkah keberadaan letak strategis tersebut dengan regulasi dan infrastruktur yang menunjang perdagangan internasional.
Selain faktor geografis, faktor kultural-historis juga membuat Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara maritim. Hal tersebut ditunjukkan dengan budaya melaut di masyarakat Indonesia yang diwariskan turun-temurun. Meskipun begitu, kemaritiman Indonesia dapat dikatakan masih tertinggal dari negara lain, seperti Tiongkok. “Meskipun wilayah daratannya lebih luas dibanding lautannya, Tiongkok memiliki budaya maritim yang cukup kuat sehingga mampu memaksimalkan peluang-peluang yang ada. Tiongkok dapat memanfaatkan potensi kelautannya saat ini karena memiliki program-program terarah dan terencana,” ujar Siti Mutiah, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurut Siti, Tiongkok dapat dikatakan sebagai benchmark poros maritim dunia saat ini.

Pusat geopolitik dan geoekonomi dunia yang perlahan bergeser ke kawasan Asia merupakan peluang emas bagi Indonesia. Hal inilah yang turut melatarbelakangi ambisi Indonesia mencanangkan visi poros maritim dunia. “Inti dari poros maritim dunia itu ada dua. Pertama, memanfaatkan laut untuk kesejahteraan. Kedua, menjadikan Indonesia sebagai kiblat dalam percakapan mengenai kelautan,” ujar I Made Andi Arsana, akademisi Teknik Geodesi UGM. Senada dengan yang diungkapkan oleh Andi, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM, Prof. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro mengatakan bahwa fokus dari visi ini ialah menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim yang disegani. Artinya, Indonesia akan menjadi pihak yang dihormati serta dilibatkan dalam konsultasi mengenai isu-isu kelautan.
Dalam membangun pondasi poros maritim, menurut Siti diperlukan penguatan budaya bahari di masyarakat melalui penetrasi pendidikan. Meningkatnya literasi mengenai bahari akan berdampak pada meningkatnya perhatian terhadap sektor kelautan. Penyetaraan perhatian antara laut dan darat merupakan kunci dari pembangunan di sektor kelautan. “Negara harus bisa memanfaatkan laut. Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan laut harus sama dengan daratan. Jika di daratan ada pengaturan ruang berupa kadaster, di laut juga perlu ada kadaster laut. Jika di darat ada alutsista untuk menunjang kekuatan militer dan keamanan, di laut juga harus ada itu,” jelas Andi.
Menginisiasikan diri menjadi poros maritim merupakan sebuah langkah awal untuk menunjukkan kibaran layar sektor kelautan Indonesia. Menurut Andi, visi poros maritim dunia ini memang dimulai dengan self-declare terlebih dahulu. “Sebelum kita mencapainya, kita memulainya dengan pengakuan terlebih dahulu. Seperti halnya dulu ketika laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan laut internasional, kita membuat pengakuan wilayah laut dulu, baru setelah itu berdiplomasi melalui Deklarasi Djuanda. Begitu pula dengan visi poros maritim dunia ini. Bila nanti waktunya tiba, kita akan berdiplomasi dengan orang-orang di seluruh dunia.” jelas Andi. Visi poros maritim dunia perlu memperhatikan konstelasi hubungan antarnegara di Asia serta berbagai inisiatif yang ada seperti ASEAN Community, One Belt One Road (OBOR) oleh Tiongkok, Act East dari India dan Re-Balance dari Amerika Serikat, sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.
Visi poros maritim dunia dapat saja melakukan sinergi dengan berbagai inisiatif tersebut selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Rachmat menambahkan, perlu adanya roadmap yang terpublikasi dengan baik agar dapat menyinergikan seluruh lembaga yang terlibat, dengan tujuan agar program pembangunan kelautan dapat berjalan secara terarah dan efektif. “Setiap program harus jelas indikator capaiannya dan perlu diadakan evaluasi bertahap. Selain itu, perlu didukung pula dengan infrastruktur dan tenaga-tenaga ahli yang kuat. Semuanya itu harus dilindungi payung hukum. Apabila sudah ada payung hukum yang kuat, nanti yang lainnya bisa ngikut ke situ, bisa dibuat panduan yang lebih rinci,” imbuh Rahmat.
Pada akhirnya visi poros maritim dunia ini seperti berlayar mencari ladang ikan mengikuti arus laut, belum jelas arah dan progresnya namun semua pihak yakin negeri ini bisa menurunkan jangkar untuk memanfaatkan segala potensi kemaritiman yang dimiliki. Poros maritim dunia menjala sorotan publik, membuat visi ini dinantikan perkembangannya. Namun, semenjak kembali terpilihnya Jokowi, belum ada pihak yang menyinggung kembali perihal visi kemaritiman ini. Terbangun kesan adanya pasang surut perhatian dalam visi yang menjadi fokus pembangunan Jokowi sejak awal beliau menakhodai Indonesia.
(Jatmiko Tribudi P., Annita Puspita S./EQ)
Discussion about this post