BPPM Equilibrium

Mengupas Dilema Independensi Media Melalui Journalist Talk 2021

Mengupas Dilema Independensi Media Melalui Journalist Talk 2021

“Kita tidak bisa mengganti kata ‘independen’ dengan kata ‘netral’ sebab kedua hal tersebut memiliki makna berbeda” – Wisnu Prasetya Utomo

 

Sebagai acara yang rutin digelar setiap tahun, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Equilibrium FEB UGM kembali menyelenggarakan Journalist Talk pada hari Sabtu (13/11) kemarin secara daring melalui platform Zoom Meetings. Dengan mengusung tema ‘Independensi Media di Tangan Siapa?’, Journalist Talk 2021 menghadirkan dua pembicara, yakni Fahri Salam (Pemimpin Redaksi Project Multatuli) dan Wisnu Prasetya Utomo (Dosen Departemen Komunikasi FISIPOL UGM). Tema ini dipilih untuk mengulik lebih jauh keresahan masyarakat saat ini sebagai pembaca berita terhadap idealisme para jurnalis yang terancam akibat konflik kepentingan pemilik media. Selama berlangsungnya acara ini, Charlenne Kayla Roesli (Reporter dan Asisten Konsultan Pengembangan Audiens Project Multatuli) bertindak sebagai moderator.

 

Dalam memaknai independensi media, Wisnu berkata bahwa independensi dan kenetralan adalah dua hal berbeda. Independensi berkaitan dengan sejauh mana kebebasan jurnalis atau media dalam menulis dan melaporkan berita. Kebebasan ini erat hubungannya dengan kebebasan dari represi, ancaman, serta tekanan dari pihak lain. Jurnalis atau media yang independen belum tentu netral sebab kenetralan berkaitan dengan keberpihakan jurnalis atau media dalam menulis. Maka dari itu, lumrah apabila jurnalis atau media memiliki keberpihakan alias tidak netral meski independen. Kemudian, Fahri berpendapat bahwa independensi berkaitan erat dengan bias dalam menulis dan melaporkan berita. Bias ini muncul ketika jurnalis atau media mendapat konflik kepentingan ataupun tekanan dari pihak lain. Padahal, jurnalis atau media seharusnya mengutamakan kepentingan audiens atau pembaca, yakni mendapatkan informasi berita akurat dan sesuai fakta sebenarnya.

 

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai peran independensi dalam media, Fahri menyebutkan bahwa independensi adalah sebuah cita-cita atau tujuan akhir. Tidak bisa dimungkiri juga bahwa terdapat banyak kepentingan yang harus diperhatikan dalam membangun dan menjalankan sebuah media pemberitaan. Wisnu pun turut mengamini pernyataan Fahri tersebut sebab dalam meraih independensi dibutuhkan proses dan perjalanan panjang yang menjadi lika-liku suatu media dalam bekerja. Alhasil, tingkat independensi suatu media dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu.

 

Berbicara mengenai independensi media di Indonesia, Wisnu berpendapat bahwa keadaannya saat ini terus memburuk apabila dibandingkan dengan keadaan ketika tahun-tahun awal masa reformasi. Hal ini terjadi sebab saat ini banyak media yang dimiliki atau dikuasai oleh petinggi politik tertentu atau yang kini sering dikenal dengan istilah oligarki. Namun, di sisi lain, Fahri berpendapat bahwa independensi media di Indonesia saat ini sudah mulai menemukan titik cerahnya sebab audiens atau pembaca media semakin kritis dan jeli dalam melihat suatu pemberitaan. Ketika terdapat suatu kasus yang seakan ditutupi oleh media, masyarakat Indonesia dapat dengan mudah mengenalinya. Tidak mungkin suatu media akan terus menutup mata dan telinganya dari kritik para audiens. Bagaimanapun juga, mereka ini lah stakeholders utama yang menjadi pembaca dan pengikut media tersebut.

 

Dalam melihat masa depan dunia media dan jurnalisme di Indonesia, Fahri berpendapat bahwa posisi media-media besar dapat dikatakan terancam oleh kehadiran media sosial. Saat ini, mudah bagi setiap orang untuk menjadi seorang content creator di media sosial seperti Instagram, Youtube, dan TikTok. Konten-konten tersebut dapat menjadi sumber informasi alternatif dari pemberitaan media saat ini. Namun, Wisnu beranggapan bahwa sampai kapan pun jurnalisme tidak akan mati sebab yang terjadi hanyalah pergeseran platform pemberitaan media. Jika dahulu media jurnalisme identik dengan media cetak seperti koran dan majalah maka saat ini media jurnalisme harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi seperti contoh media sosial. Media jurnalisme juga tetap berperan penting untuk melaporkan berita yang sebenarnya penting tetapi kurang mendapat perhatian, seperti contoh kasus-kasus kekerasan di Papua.

 

Setelah mengupas secara dalam terkait independensi media, topik berlanjut ke masalah tentang perbedaan media independen dan nonindependen. Menurut Fahri, media independen memiliki ciri khas berupa penyajian berita dengan isu atau tema yang tidak banyak diulas oleh media lain ataupun publik. Sedangkan, media nonindependen saat ini akan sangat bergantung dengan algoritma serta tren topik yang ada di media sosial. Hal ini bertujuan agar berita yang diangkat memiliki jumlah pembaca/traffic tinggi.

 

Acara dilanjutkan sesi tanya jawab antara peserta dengan pembicara. Beberapa pertanyaan diajukan yang menunjukkan antusiasme peserta terhadap implementasi independensi media. Salah satu peserta melalui fitur QnA mengajukan pertanyaan terkait bagaimana kondisi ideal yang akan tercapai jika independensi media dapat terpenuhi. Menurut kedua pembicara, independensi media yang tercapai akan menggiring kondisi demokrasi yang ideal. Hal ini dipicu dengan adanya kemunculan media yang kritis sehingga mampu menguak persoalan yang dihadapi oleh lingkungan sosial saat ini. Kasus-kasus yang mungkin terpendam seperti kekerasan seksual di kampus dan masalah kepolisian menjadi bentuk koreksi akibat adanya jurnalisme yang independen dan berkualitas. Di sisi lain, jika media sudah terkontaminasi atau tidak independen, maka informasi publik yang dihasilkan menjadi terselubung dengan niat khusus. Dampak dari terkontaminasinya pergerakan media adalah sentralisasi informasi seperti berita banjir di Jakarta. Nyatanya, informasi tersebut tidak cukup relevan bagi khalayak umum terutama penduduk selain Jakarta. Hal tersebut merupakan contoh dari adanya informasi yang terpusat dan hanya menampilkan kebutuhan khalayak elit.

 

Peserta lain yaitu Adela memberikan pertanyaan kepada Fahri selaku pembicara mengenai tekanan yang dihadapi jurnalis. Menurut Fahri, tekanan yang dialami jurnalis biasanya terjadi pada ekosistem politik dan ekonomi yang tercipta dalam media tempat mereka bekerja. Keinginan untuk menghasilkan kualitas berita yang baik menjadi terganggu jika jurnalis perlu melakukan penyesuaian terhadap identitas media yang dibawakan. Selain itu, jurnalis baginya belum mendapatkan gaji yang sesuai dengan ekspektasi kerja yang diharapkan. Masalah lain yang menjadi penghambat bagi wartawan untuk mengekspresikan informasi melalui tulisannya adalah kekangan dari UU ITE pasal pidana yang membuat mereka tidak bebas untuk menyampaikan pendapat.

 

Pertanyaan selanjutnya dipaparkan oleh Khairul terdapat penerapan independensi bagi mahasiswa. Bagi Wisnu, kampus merupakan tempat ideal untuk melatih independensi. Melalui media bentukan organisasi kampus, mahasiswa menjadi memiliki ruang yang luas untuk melakukan eksplorasi masalah di lingkungan sekitarnya. Mahasiswa menjadi memiliki peluang untuk membongkar masalah melalui fakta terdekat yang dapat ia temukan. Walau demikian, terkadang independensi mahasiswa dianggap sebagai tekanan bagi kampus sebab mampu mencemarkan nama baik. Berawal dari keleluasaan mahasiswa tersebut lah diharapkan mampu terbentuk jurnalis yang memiliki jiwa independensi dalam mengolah berita.

 

Eksistensi media yang independen masih menjadi angan dan cita-cita bagi beberapa jurnalis negeri ini. Kemurnian informasi yang diharapkan kini menjadi sulit untuk ditemukan akibat adanya indikasi campur tangan pihak lain dalam penyajian berita. Dilema media untuk bertahan hidup akibat kebutuhan dana juga menjadi kendala penghambat independensi media. Tidak dapat dipungkiri bahwa media yang kokoh memerlukan suntikan dana yang nantinya memengaruhi independensi media itu sendiri.

Populer

Berita

Ekspresi

Riset

Produk Kami

Pengunjung :
321

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Solverwp- WordPress Theme and Plugin