Riuh suara tepuk tangan seolah menjadi buah atas semua usaha yang telah pelestari budaya semai pada Pentas Ambal Warsa 51. Sorot lampu yang menerangi setiap langkah cerita dan gerakan elok penari telah menghanyutkan penonton dalam setiap pertunjukan yang disuguhkan. Begitu pula harmoni antara lantunan gamelan dan senandung kidung yang mengiringi setiap ayunan gerak lakon, membalut perjalanan kisah sendratari yang tak hanya memanjakan tiap pasang mata tetapi juga tiap pasang telinga. Racikan tersebut telah memukau insan yang menyaksikan pagelaran dalam memperingati ulang tahun ke-51 (Pentas Ambal Warsa) Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Jawa Gaya Yogyakarta UGM (UKM Swagayugama) pada Sabtu (27/4) malam lalu.
Pukul 19.30 WIB alunan gamelan mulai menggema pada Hall Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), menandakan pagelaran akan segera dimulai. Mengenakan pakaian adat Jawa khas Yogyakarta, para niyaga memainkan gamelan dengan selaras membuat penonton yang telah hadir merasakan syahdunya budaya jawa. Tema pagelaran tahun ini adalah “Berbangga Diri Menjadi Pelestari” dengan tujuan ingin terus melestarikan budaya lokal, terutama budaya Jawa gaya Yogyakarta.
Pentas Ambal Warsa 51 berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada tahun ini, pentas berskala lebih kecil bila dibandingkan dengan tahun lalu. Pentas Ambal Warsa pada tahun lalu menyewa tempat di luar UGM dan melibatkan lebih banyak penari dibanding tahun ini. Hal ini dikarena tahun lalu merupakan perayaan setengah abad UKM Swagayugama. Namun, hal ini tak mengurangi sedikitpun antusiasme dalam penyelenggaraan pentas tahunan ini.
Penampil pertama adalah adik-adik dari Taman Pamulangan Seni Budaya Pakembinangun. Mereka menampilkan tari Nawung Sekar yang merupakan tari dasar gaya Yogyakarta sebagai bentuk pengenalan ragam gerakan pada siswi penari pemula. Meskipun terlihat gugup, mereka tetap membuat kagum penonton dengan penampilan mereka. “Adik-adik ini dilatih teman-teman dari (UKM) Swagayugama seminggu sekali dan mereka sangat rajin serta antusias setiap kali berlatih. Ini juga penampilan pertama mereka di UGM yang notabene nya jauh dari rumah mereka,” ujar Ketua UKM Swagayugama Amara Arvitha Mayangsari (19) di sela pergantian penampilan.

Acara dilanjutkan dengan penampilan tari Sari Kusuma dengan Sembilan bedaya. Tari ini menceritakan seorang gadis yang belajar menari dan berproses hingga si gadis menjadi bedaya yang ulung. Dalam balutan busana hitam dengan ornamen emas, sembilan gadis ini memberikan pertunjukan yang sangat rapi, gerakan tari yang semakin kompleks di akhir menunjukan proses belajar menari gadis yang menunjukkan kemajuan hingga menjadi bedaya yang piawai.
Setelah dua pertunjukan tari, Pentas Ambal Warsa 51 menyajikan tembang “Kidung Senja di Kota Jogja” karya Jagad Mellian Tejo Ndaru. Meleburnya paduan dari harmoni alunan gamelan, merdunya vokal, dan dalamnya makna tembang ini membuai penonton untuk merasakan karisma Kota Jogja dengan segala pesonanya.
Di penghujung pagelaran, penonton diajak merasakan cerita di balik sendratari Burisrawa Rante, dimana Burisrawa Rante mengisahkan Burisrawa mencintai Sembadra yang merupakan istri dari Arjuna dengan sepenuh hatinya. Namun, perasaan yang sama tak dimiliki oleh Sembadra. Hal ini membuat Burisrawa membenarkan berbagai cara, “Diriku tidak bisa menjadi seperti orang lain, dan orang lain pun tidak bisa menjadi sepertiku. Inilah aku dengan segala caraku untuk mendapatkan cintamu,” begitulah tekad Buriswara untuk mendapatkan cinta Sembadra. Akan tetapi, perbuatan Burisrawa untuk mendapatkan cinta Sembadra justru membuat Sembadra terbunuh. Setelah itu, Antareja dan Gatotkaca, ponakan dari Sembadra menangkap Burisrawa dengan cara merantainya.

“(Pagelarannya) Bagus, sebuah upaya untuk melestarikan budaya jawa juga.” Jawab Wiji Larasati (19), salah satu penonton saat ditanya bagaimana komentar mengenai Pentas Ambal Warsa 51. Pertunjukan paling berkesan menurut Wiji adalah Burisrawa Rante “Karena dari gerakannya, (Kidung) pengiring, dan Background suara gamelan.” Jelas Wiji mengenai apa yang disukai dari sendratari Burisrawa Rante,
“Jadi, merasa budaya Jawa ternyata luar biasa bagus.” Tutur Wiji mengenai perasaannya setelah menyaksikan pagelaran. Wiji juga berencana untuk menonton kembali jika ada acara pagelaran budaya jawa, terlebih Wiji sebagai etnis jawa ingin tetap melestarikan budaya Jawa.
(Jatmiko Tribudi P, Farid Fakhri / EQ)