Oleh: Revina Putri Utami
Apa lagi yang paling ditunggu-tunggu anak rantau kalaulah bukan saat-saat melangkah mudik Lebaran. Menikmati perjalanan sambil membayangkan suasana rumah, disambut senyuman keluarga, bayang-bayang kepulan aroma rendang di pojok dapur ibu, hingga deretan kue khas hari raya di tengah beranda. Namun, tidak untukku tahun ini. Pertama kalinya, aku berpindah pulang, ke ujung selatan pesisir Kali Progo, tepatnya di Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jangan bayangkan beranda baruku sepi tak ada riak. Suasana Ramadan di Banaran sepertinya mengerti kerinduanku akan pulang ke tanah minang tak ada apa-apanya dengan kebersamaan masyarakat yang ada, khususnya di padukuhan yang aku tempati, Dukuh 8 Banaran. Setiap sore, saat menunggu azan maghrib berkumandang, aku dan tim Kuliah Kerja Nyata (KKN) lainnya bersama pemuda karang taruna dihebohkan dengan puluhan anak yang polahnya kadang menggemaskan di musala. “Santri?” “Siaap!” “Santri, santri?” “Siap, siap!” “Santri, santri, santri?” “Siap, siap, siap!” Cukup begitu, mereka akan duduk tertib, antusias mendengarkan materi dari kami walaupun beberapa menit kemudian, “Yoo lenggah yoo.. yang anteng yoo..” Setelahnya, kami menyantap takjil yang diantarkan warga ke musala dengan nikmat sambil berceloteh lucu bersama.
Semangat Ramadan tidak hanya dipancarkan oleh anak-anak tetapi juga para pemudanya. Setiap malam usai tarawih, kami dan para pemuda karang taruna disibukkan dengan persiapan lomba takbiran yang digelar menjelang Idul Fitri nantinya. Desa Banaran memiliki tradisi unik setiap tahunnya, yakni pagelaran lomba pawai takbiran antarpadukuhan. Tak ayal, warga di sini tampak bersemangat mempersiapkan tampilan terbaik. Mulai dari merakit miniatur masjid, ratusan lampion, pernak-pernik lampu, musik hadroh takbiran, hingga alur dan gerakan barisan disiapkan sejak minggu-minggu awal Ramadan oleh masing-masing padukuhan.
Walau termasuk daerah pesisir pantai, udara di Desa Banaran terbilang sejuk, bahkan cukup dingin saat malam hari. Pun ditemani pemandangan hamparan sawah dan perkebunan warga desa. Tak usah mengira wilayahnya gersang, matamu akan dimanja dengan suasana hijau sepanjang jalanan. Warga desa ini umumnya bertani dan beternak. Jangan heran bila menemukan kandang hewan ternak persis di depan rumah. Semoga saja, dengan salah satu program kami yakni lomba kandang sehat, para peternak lebih sadar akan pentingnya kesehatan lingkungan kandang dan hewan ternak.
Malam takbiran yang ditunggu-tunggu pun datang. “Mboten wangsul, Lebaran ten mriki mawon, ten mriki rame (Tidak usah pulang, Lebaran di sini saja, di sini rame).” Memang benar adanya ujaran ibu-ibu yang aku temui di musala tempo hari. Masing-masing padukuhan memiliki kreativitasnya sendiri. Kaligrafi raksasa, lampion-lampion unik, hingga replika gajah pun ada. Barisan jamaah pun tak pandang umur. Meski akan berjalan hingga berjam-jam, anak-anak hingga ibu-ibu bahkan bapak-bapak yang rambutnya mulai putih semua bak tidak ingin ketinggalan untuk berpartisipasi dalam barisan. Makin malam, Desa Banaran yang terdiri dari tiga belas padukuhan ini kian semarak dengan lantunan takbir para peserta.
Awalnya aku kira puasa tahun ini akan berjalan berat tanpa keluarga. Nyatanya tidak sama sekali. Keributan kecil saat rebutan bakwan buatan ibu pondokan waktu sahur, atau celetukan guyon saat masak di dapur menguatkan bahwasannya keluarga baru ini punya cara sendiri untuk menghadirkan suasana rumah. Pun Lebaran ketika kami keliling mengunjungi rumah-rumah warga, seakan membuatku sadar, pulang tidak harus ke rumah kampung karena beranda kedua bisa saja ada dengan hangatnya kebersamaan.
Discussion about this post