Mahasiswa Indonesia memiliki tempat tersendiri dalam sejarah republik ini. Sejarah mencatat mahasiswa Indonesia sebagai agen perubahan, inisiator dan motor penggerak utama reformasi. Mahasiswa punya dan akan selalu punya peran penting dalam masyarakat modern Indonesia. Tulisan ini dibuat atas dasar kepercayaan saya pada pernyataan tersebut.
Kamis petang (25/10) lalu, saya mengikuti bedah kajian Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa – Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dalam rangka persiapan Aksi Nasional 2018 pada 28 Oktober mendatang. Beberapa kajian yang disampaikan, dua di antaranya bertajuk “Dollar Kian Meroket!” dan “Peran dan Pengaruh IMF-WB”, merupakan kajian isu ekonomi yang disusun oleh perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai koordinator isu terkait, yaitu Institut STIAMI dan dan STEI SEBI. Saya tidak dapat menahan tawa ketika saya mulai membaca kalimat demi kalimat kajian tersebut. Sebagai seorang mahasiswa ilmu ekonomi, saya harus mengakui bahwa tersirat kekecewaan dan rasa malu yang luar biasa dalam tawa saya.
Campuran perasaan takjub dan heran sepertinya mampu menggambarkan perasaan saya ketika sadar bahwa mahasiswa akan menuntut pemerintah berdasar pada kajian semacam itu. Penilaian subjektif saya melihat kajian-kajian ekonomi tersebut sebagai karya ilmiah yang murahan dan dangkal. Bagaimana tidak? Kajian ilmiah tersebut memiliki cara referensi yang tidak sesuai aturan akademis. Sumber yang dirujuk pun dipertanyakan kredibilitasnya. Berikut adalah sebagian contohnya:
Saya juga melihat penerapan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang buruk. Berikut adalah kutipan dari kajian “Dollar Kian Meroket!”:
“Salah satu contoh barang impor yang di impor ke indonesia sebenarnya mampu di ciptakan dan diproduksi di dalam negeri namun kita masih impor beberapa komoditi di karenakan harga barang nya lebih murah walaupun kualitas produk lebih menurun ini di karenakan rupiah yang menguat dan tak mampu bersaing dengan komuditi barang yang dihasilkan oleh negara negaa lain.”
Menurut saya, tidak layak menuntut presiden dengan kajian ilmiah yang ditulis tidak sesuai dengan kaidah penulisan. Sebuah kajian ilmiah dengan teknis penulisan yang buruk adalah sebuah karya yang gagal.
Substansi dari kajian tersebut sama buruknya. Jika Anda ingin menuntut sesuatu dari pemerintah, maka Anda butuh argumen kuat dengan landasan teori yang memadai dan data yang disimpulkan dengan baik. Salah satu penjelasan tentang peran International Monetary Fund (IMF) dalam kajian yang dibuat oleh STEI SEBI berasal dari brainly.co.id (https://brainly.co.id/tugas/1787253). Meskipun menurut situs tersebut jawaban yang digunakan adalah jawaban tersertifikasi dan mendapat rating 4.2 dari 5 bintang, saya merasa bahwa jawaban yang diberikan tidak layak digunakan.
Saya akan memberikan perbandingan tentang sepuluh poin Washington Consensus yang dijabarkan dalam publikasi Bank Dunia dan jawaban pengguna dengan nama akun dodysjk dalam web tersebut:
dodysjk dalam brainly.co.id | Williamson, J. (1990) dan Williamson, J. (1993) dalam Birdsall et al. (2010) |
Pemangkasan belanja, biasa dikenal dengan istilah austeritas atau pengetatan anggaran. | Disiplin fiskal: Pemerintah seharusnya membatasi defisit anggaran hingga batas yang dapat dibiayai pemerintah tanpa harus mencetak mata uang. |
Mengutamakan ekspor langsung dan ekstraksi sumber daya | (tidak ada poin yang sepadan) |
Devaluasi mata uang | (tidak ada poin yang sepadan) |
Liberalisasi perdagangan, atau penghapusan hambatan impor dan ekspor | Liberalisasi perdagangan: Pembatasan dagang secara kuantitatif seharusnya digantikan oleh tarif. |
Meningkatkan kestabilan investasi (membantu investasi asing langsung dengan membuka bursa saham dalam negeri) | Foreign direct investment (FDI): Regulasi penghalang penyertaan modal luar negeri langsung dan penghalang masuknya perusahaan luar seharusnya dihapuskan. |
Menyeimbangkan anggaran dan tidak belanja berlebihan | (lihat poin “Disiplin fiskal”) |
Menghapus pengendalian harga dan subsidi negara | Memprioritaskan ulang belanja pemerintah: Belanja pemerintah seharusnya direalokasikan dari kebijakan yang populer secara politik tetapi tidak layak secara ekonomis ke arah bidang yang diabaikan dengan potensi ekonomis yang tinggi dan mampu memperbaiki distribusi pendapatan. |
Swastanisasi, atau divestasi seluruh atau sebagian BUMN | Privatisasi: Perusahaan negara seharusnya diprivatisasi (diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta). |
Memperluas hak investor asing dalam perundang-undangan nasional | Deregulasi: Pemerintah seharusnya menghapus regulasi yang menghalangi masuknya perusahaan baru dan peraturan yang menghalangi persaingan. |
Memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memberantas korupsi | (tidak ada poin yang sepadan) |
– | Reformasi pajak: Basis pajak seharusnya diperluas dengan tarif pajak marjinal pada tingkat sedang. |
– | Suku bunga riil positif: Suku bunga seharusnya ditentukan oleh pasar dan kebijakan diarahkan untuk mencapai suku bunga riil yang positif. |
– | Nilai tukar kompetitif: Negara perlu memiliki acuan nilai tukar tunggal yang diatur pada tingkat yang kompetitif untuk mendukung pertumbuhan. |
– | Hak milik: Sistem hukum seharusnya memberikan jaminan terhadap hak milik tanpa biaya berlebih dan tersedia bagi sektor informal. |
Ketidakakuratan sumber dalam mengangkat Washington Consensus dapat menimbulkan kesalahpahaman, atau memang kesalahpahaman tersebut adalah sesuatu yang diinginkan? Dalam kajian-kajian tersebut, saya juga menemukan beberapa kalimat yang mewakili opini dan bukan fakta ilmiah. Salah satunya ialah kalimat dalam kajian terkait melemahnya rupiah yang berbunyi “Kebutuhan pokok yang naik akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar USA, menimbulkan kekhawatiran di masyarakat luas”. Kalimat tersebut dinyatakan tanpa ada referensi dan bukti. Saya masih bertanya-tanya, bagaimana bisa kajian yang demikian buruk digunakan sebagai dasar aksi besar-besaran yang mengundang BEM yang tergabung untuk menghadiri aksi tersebut?
Sikap remeh yang ditunjukkan dalam penyusunan kajian ekonomi yang akan mendasari aksi 28 Oktober mendatang adalah sebuah masalah serius yang dapat mencederai citra mahasiswa Indonesia. Saya berharap BEM SI dapat menyikapi secara serius aksi dan tuntutan terhadap pemerintah dalam kapasitasnya sebagai salah satu unsur check and balance dalam demokrasi kita. BEM SI harus menunjuk perguruan tinggi yang lebih kompeten atau membentuk tim kajian yang lebih baik untuk menyusun kajian yang benar-benar mengangkat substansi masalah dan memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah. Sebagai seorang mahasiswa, saya tidak sudi bila suara saya diwakili oleh aksi yang didasari kajian kosong. Jika BEM SI menganggap aksi menuntut pemerintah adalah permainan atau rutinitas belaka, maka jangan mengadakan aksi dengan mengatasnamakan seluruh mahasiswa Indonesia. Jangan menjadi aib bagi masyarakat akademis Indonesia.
Immanuel Satya Pekerti
Ilmu Ekonomi 2015
Link naskah kajian:
bit.ly/KajianIMF-WB-BEMSI
bit.ly/RupiahLemah-BEMSI
Referensi:
Birdsall, N., de la Torre, A., Caicedo, F.V. (2010) The Washington Consensus: Assigned a Damaged Brand. Policy Research Working Paper, (5316). Tersedia dari http://documents.worldbank.org/curated/en/848411468156560921/pdf/WPS5316.pdf [Diakses pada 27 Oktober 2018]
Symoniak, S.D. (2011) The Washington Consensus. New Voices in Public Policy, 5, 2-20. Tersedia dari https://journals.gmu.edu/newvoices/article/viewFile/14/14 [Diakses pada 27 Oktober 2018]
Williamson, J. (1990) Latin American Adjustment: How Much Has Happened? Institute for International Economics: Washington, D.C.
Williamson, J. (1993) Democracy and the Washington Consensus. World Development, 21(8), 1329-1993.
Discussion about this post