Penulis: Aning Era Reformasi/EQ
Foto oleh M. Furqon Al Habsyi/EQ
Tempat ini tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Ya, tentu saja karena semakin hari tempat ini semakin menjamur. Kerlap-kerlip lampu dan kemesraannya menghiasi setiap pojok kota. Konsep, menu, harga, fasilitas, hingga pesona para barista ikut meramaikan rantai kemegahan bisnis ini. Apalagi kalau bukan kafe, tempat yang sedang digandrungi khalayak muda untuk mendukung produktivitas mereka.
Berbicara tentang kafe, Turki disebut-sebut sebagai negara pertama yang memiliki kedai kopi, tepatnya di ibu kota Kerajaan Ottoman, Konstantinopel. Konsep bisnis ini mendapatkan respon positif dan terus berkembang ke berbagai belahan dunia, hingga akhirnya sampai ke Indonesia. Pada awalnya, kafe-kafe ini hanya menjual kopi yang diolah dan disajikan dengan peralatan sederhana. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, bisnis ini semakin berkembang. Peralatan yang digunakan semakin modern, menu yang dihidangkan semakin beragam, dan fasilitas yang memadai untuk membuat betah pelanggan kafe.
Pengunjung kafe memang berasal dari berbagai kalangan dan berbagai tujuan. Tua-muda, menengah-ke atas, wanita-lelaki, pun saling berbaur. Entah bertujuan untuk rapat suatu project, mengerjakan tugas kelompok, belajar mandiri, maupun bersantai melepaskan penat. Sebagai seorang mahasiswa di Yogyakarta, pergeseran cara belajar sangat terasa setelah mengenal sebuah tempat nyaman bernama kafe. Mungkin tak sedikit yang merasakan pergeseran ini, khususnya mahasiswa, karena fasilitas dan kenyamanan yang mendukung menciptakan rasa konsentrasi untuk belajar. Kebanyakan mahasiswa merasa bahwa belajar di rumah atau di kamar kos menjadi suatu penghambat karena baru membaca satu paragraf saja sudah menguap dan ingin segera tidur padahal tugas masih bertumpuk dan berjejer. Aspek gaya hidup memang secara langsung mempengaruhi keadaan ini.
Tidak dapat dipungkiri salah satu aspek gaya hidup yang mempengaruhi kebiasaan ini adalah penggunaan sosial media yang tidak bijak sehingga menimbulkan apa yang biasa kita sebut sebagai toxic. Kebiasaan ini kemudian merebak di kalangan mahasiswa, tak terkecuali mahasiswa baru. Seakan ritual, banyak dari mereka setiap kali menjajal kafe baru pasti selalu update pada Instagram story maupun Whatsapp story. Update di sosial media ini dampaknya cukup besar, tak jarang balasan yang datang seperti, “wah sekarang mainnya di kafe terus ya,” “sekarang hedon mainnya di kafe mulu,” “eh itu kafe mana kok bagus?.” Ritual update ini mendorong orang untuk mencoba hal serupa. Kemudian, di sinilah awal kemunculan mindset bahwa belajar di kafe lebih produktif daripada di kamar rumah atau kos.
Lantas, bagaimana jika kita coba membalik keadaan, apakah mindset belajar di kamar tidak produktif masih tertanam jika kebiasaan belajar di kafe tidak semarak ini? Rasanya tidak mungkin. Kenyamanan belajar yang berupa dinginnya air conditioner (AC), kecepatan wifi, meja dan kursi yang mendukung, banyaknya stop kontak, serta yang paling penting adalah pemandangan yang mendukung produktivitas tentunya tidak dibayar dengan murah. Semakin nyaman tempatnya maka semakin mahal pula harga yang ditawarkan, seperti kata pepatah: ada uang ada barang.
Setiap fenomena pastilah berdampak positif dan negatif, tak terkecuali bisnis kafe. Positifnya jelas gurita bisnis ini semakin besar dan menggerakkan perekonomian. Selain itu, maraknya kafe juga memberikan dorongan untuk berkreasi dalam memulai bisnis, jika tidak menjadi pemilik pun mereka bisa berkreasi dengan menjadi barista.
Di sisi lain, Sebagai anak kos yang hidup serba pas-pasan sebenarnya hal ini menjadi sebuah dilema. Pun memaksakan ikut belajar bersama rombongan, mau tidak mau harus mengocek dompet padahal kondisi finansial tidak bersahabat. Di sisi lain, belajar di kamar kos rasanya tidak mendukung dan dijuluki mahasiswa anti sosial atau pelit ilmu.
Tak sampai di situ, fenomena belajar di kafe tentunya menjadikan pecintanya memiliki perilaku konsumtif. Jika memiliki uang saku lebih dan dapat mengatur keuangan dengan baik tidak menjadi masalah, hanya saja tidak semua orang dapat mengontrol pengeluaran dan pada akhirnya harus meminta lagi uang saku atau menghalalkan segala cara. Hal ini selain merugikan orang tua tentunya juga orang sekitar dan diri sendiri.
Bagaimanapun juga, mahasiswa tentu tidak kehabisan akal. Dompet tipis bukan menjadi halangan bagi mereka. Ada banyak jalan ninja yang dapat ditempuh. Contohnya, ke kafe dari buka sampai diusir cukup membeli satu gelas minuman, selain hemat juga memanfaatkan fasilitas dengan maksimal. Cara lainnya adalah dengan datang secara gerombolan dan tidak perlu pesan apapun, cukup duduk belajar jika haus minta satu teguk minuman teman.
Tugas utama seorang mahasiswa adalah belajar. Belajar pun dapat dilakukan dimana saja, tidak perlu memaksakan mengikuti tren jika keadaan tidak memungkinkan. Pada dasarnya, tujuan utama belajar adalah memperdalam ilmu pengetahuan guna meraih mimpi, bukan untuk panjat sosial. Sesekali bolehlah mencoba sedikit manja, tetapi tetap menjadi mahasiswa yang bijak dalam bertindak.
Discussion about this post