Bulan Februari telah mendekati ujungnya. Jatuhnya harga minyak telah mewarnai berbagai peristiwa yang terjadi selama bulan Februari ini. Pemerintah di berbagai negara dan perusahaan merespon dengan caranya masing-masing. Divisi Penelitian BPPM Equilibrium akan menyajikan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama bulan Februari.
Sorotan linimasa bulan Februari diawali dengan pemerintah yang berusaha mencari jalan untuk menutupi defisit anggaran APBN 2016 sebesar Rp 273,2 triliun. Beberapa opsi yang tersedia adalah program pengampunan pajak, pemotongan anggaran, dan penambahan utang lewat penerbitan surat berharga negara (SBN). Ekonom Senior Kenta Institute, Eric Sugandi, menyatakan peningkatan utang pemerintah juga dipengaruhi penerbitan surat berharga negara berdenominasi valas yang mencapai angka US$ 130,73 miliar. Kecepatan penyerapan anggaran yang berbanding terbalik dengan kecepatan realisasi anggaran juga menjadi masalah bagi keuangan negara. Tercatat bahwa realisasi pendapatan negara pada periode 1 Januari sampai dengan 5 Februari 2015 mencapai Rp 103,3 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama, realisasi pendapatan negara berada pada angka Rp 94,9 triliun atau mengalami penyusutan sebesar 8,13 persen. Di sisi lain, realisasi belanja negara tumbuh 27,73 persen dari Rp 129,1 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 164,9 triliun pada tahun 2016. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pelemahan realisasi pendapatan negara adalah penurunan harga pada sektor migas.
Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan BI Rate ke angka 7 persen. Penurunan BI Rate ini, dikabarkan oleh CNN Indonesia, menjadi respon pemerintah terhadap BUMN yang menimbun dananya di bank. Bank tersebut memberikan bunga deposito tinggi dan bunga tersebut dipakai untuk kemajuan usaha. Selain itu, penurunan BI Rate disebabkan oleh harga minyak dunia sehingga dapat menekan tingkat inflasi. Hal ini menurut Gubernur BI, Agus Martowardojo, dapat memberikan ruang bagi kelonggaran kebijakan moneter.
Beralih ke berita internasional, jatuhnya harga minyak ternyata berdampak besar bagi perusahaan-perusahaan minyak asing. British Petroleum mencatat kerugian sebesar US$ 6,5 miliar, terbesar dalam sejarahnya. Selain itu, perusahaan Exxon Mobil dan Chevron telah menimbun utang masing-masing sebesar US$ 9,6 miliar dan US$ 10,8 miliar, dan telah mengalami peninjauan ulang untuk credit rating mereka. Ditambah lagi pemutusan hubungan kerja dan penekanan biaya yang telah dilakukan semaksimal mungkin oleh para raksasa minyak dunia agar dapat tetap membayar deviden kepada para pemilik modal. Jatuhnya harga minyak sendiri telah menyebar ketakutan akan terjadinya deflasi dan jatuhnya tingkat bunga. Di lain tempat, usaha untuk mempertahankan harga minyak dunia datang dari dua produsen besar minyak dunia, yaitu Rusia dan Arab Saudi. Keduanya memutuskan untuk menahan perkembangan produksi minyak untuk menahan jatuhnya harga minyak yang tengah terjadi.
Sumber: Kompas, CNN Indonesia, The Economist
Image : bisniskeuangankompas.com
(Immanuel Satya Pekerti, Naomi Maria Lasamahu/EQ)
Discussion about this post