“Estetika adalah etika masa depan,” begitu celoteh Maxim Gorky pada perjalanannya dalam mewujudkan filosofi realisme sosialis. Sebuah perjalanan panjang demi membuat sebuah standar seni yang konsepnya ditetapkan pada kongres Soviet pada tahun 1934. Di dalamnya diatur bahwa seniman akan diberi imbalan apabila karya seninya sesuai dengan “pesanan negara”. Negaralah yang menentukan seniman-seniman tersebut harus membuat apa dan bagaimana: tegang dan terkekang.
Hal di atas terasa kontras keadaannya dengan nuansa riang di belakang TK Ananda Mentari pada senja hari itu. Bendera warna-warni ala karnaval berhasil tergerai apik oleh bantuan pohon kelapa cebol dan pilar bangunan. Dua sepeda roda tiga, yang berjejer di depan teras belakang rumah yang kebetulan mendapati tugas sebagai main stage, terlihat sebagai jelmaan masa kecil: polos, awam, dan awal.
Awan pada hari itu seakan tak punya pendirian, cerah dan dingin, seakan bakal hujan tapi tak ingin. Gerangan hujan seperti menghormati salah satu perhelatan scene musik indie yang dijuluki “Awal” tersebut. “Backyard Lullaby is in the backyard! No alcohol, no smoking, no weapon, no sex, no violence. TK Ananda Mentari str8 (baca: straight) edge show, stay true!” teriak kertas penunjuk main stage tersebut. Karena diadakan pada bulan suci Ramadan, Rp15.000 menjadi harga tiket masuk sekaligus pengganti cemilan takjil.
Dibuka oleh percikan spesial dari band experimental-pop asal Yogyakarta, Sungai, hujan pun bak ingin menyusul untuk tampil membasahi arena tersebut. Setelah dihormati hujan beberapa saat yang lalu, rerintik mulai terasa datang bergerombol untuk melaksanakan kewajibannya demi istirahatnya sang surya dan mulainya debut si pelangi. “Aduh udan, ngiyup! (Aduh hujan, mari berteduh!)” celoteh salah satu penonton. Dengan muka cenderung lapar dan lumayan kuyup karena hujan, penonton seakan menjadi saksi hidup kreativitas inlander Jogja garis keras.
Tanpa disengaja, bersamaan dengan hari jadi Paul McCartney, 18 Juni 2016 merupakan hari yang dipilih duo folk-country ini untuk pesta rilis mini album mereka. Tiarra Dya (Arra), Hubungan Internasional UGM 2014, dan Edo Kholif Alventa (Edo), Ilmu Ekonomi UGM 2014, merupakan insan di balik band ini: Backyard Lullaby. Mereka mulai serius untuk menggarap proyek ini pada awal tahun 2015. Walaupun begitu, sudah sejak empat tahun lalu, semilir angin di belakang rumah Arra dan curahan ekspresi harian adalah komponen terpenting dalam pembuatan karya.
Rilisan mini album mereka terkomposisi oleh lima gubahan nada, satu di antaranya berbahasa Indonesia. Single pertama mereka yang berjudul “Mary” dipilih karena menurut mereka, cerita di baliknya bersifat universal dan sangat sederhana. Lagu ini bercerita tentang muskilnya seseorang dalam menyampaikan perasaanya, salah satunya dengan cara memanfaatkan hubungan pertemanan. Ajaibnya, pada lagu ini Mary seakan meminta tolong kepada Edo dan Arra untuk menyampaikan isi hatinya kepada pria yang ia puja.
Mini album ini dibuka oleh sebuah lagu yang diciptakan pada saat mereka berada di jenjang Sekolah Menengah Pertama. Lagu dengan tajuk “10 O’Clock” ini mengingatkan kita pada salah satu celotehan mantan jurnalis malam Kompas, P. Swantoro, “Masa lalu selalu aktual”. Kegelisahan dalam menunggu sebuah kabar atau jawaban akan selalu menjadi alasan seseorang untuk khawatir adalah esensi dari lagu ini.
Rencana akan tur ke luar kota secepatnya akan dieksekusi para personil karya seni yang tematis ini. Namun tidak lama setelahnya, hiatus akan perginya salah satu personil untuk menimba ilmu di negara kelahiran Daft Punk dan Tahiti 80 ini seakan meninggalkan pesan bahwa menjadi independen itu harus, tapi miskin ilmu jangan. Seperti petuah dari Arra dan Edo, “Tidak ada alasan pasti kenapa ini terjadi, karena kreativitas menurut kami tak perlu alasan. Buat sesama pegiat seni, proses dari segala karya atau usaha itu akan menjadi nilai tambah dari diri kalian.”
Untuk mengenal dan mengapresiasi lebih lanjut, Twitter, Soundcloud, serta Instagram sudah tersedia dan aktif dengan nama akun yang sama: backyardlullaby. Syahdan, apabila telinga sudah geli karena penasaran, mini album yang berbentuk fisik berupa Compact Disc (CD) ini bisa didapatkan secara eksklusif melalui link berikut http://goo.gl/oUCs5m atau bisa didapatkan secara langsung di outlet Demajors komplek Jogja National Museum.
(Kebul/EQ)
Discussion about this post