Oleh : Esa Azali Asyahid – Ilmu Ekonomi 2015
Kalau suatu ketika seorang mahasiswa yang sedang pulang kampung ditanya oleh tetangganya tentang apa yang ia pelajari di kampusnya, saya yakin ada dua respon yang muncul di mayoritas mahasiswa yaitu antara tergugup bingung mencari jawaban yang tepat atau menjawab ngalor – ngidul sekenanya. Hal ini sudah cukup untuk menjadi dalil bahwa kebanyakan mahasiswa nyatanya gagal paham tentang apa yang ia sebenarnya pelajari. Indikator gagal paham itu sederhana. Jika kita tidak mampu menjelaskan suatu konsep tanpa terikat oleh penjelasan ala textbook, tandanya kita perlu belajar lagi. Akan tetapi, belajar lagi saja tidak cukup.
Fenomena gagal paham di kalangan mahasiswa semacam ini menurut saya merupakan buah dari dua sebab utama yaitu kurikulum serta cara belajar yang salah. Kita dituntun untuk mendapat pengetahuan dengan jalur yang tidak tepat. Oleh sebab itu, kita pun menjadi tidak terbiasa untuk memahami sesuatu dengan cara yang sesuai.
Contoh dari kesalahan kurikulum yang menurut saya fatal terjadi di jurusan saya sendiri, Ilmu Ekonomi. Untuk pembaca ketahui, banyak tugas di perkuliahan saya yang menuntut mahasiswa untuk membuat makalah ilmiah (paper), terutama pada mata kuliah workshop. Untuk dapat membuat sebuah paper yang baik tentu mahasiswa perlu memiliki keterampilan dan pengetahuan mengenai metode penelitian. Anehnya, mata kuliah metode penelitian baru dapat diambil pada semester tua setelah beberapa mata kuliah prasyarat terpenuhi. Mungkin argumen dari hal ini adalah bahwa untuk dapat memahami metode penelitian, mahasiswa harus memahami terlebih dahulu alat-alat (tools) analisis yang akan digunakan seperti statistika dan ekonometrika. Namun, menurut saya, argumen semacam ini keliru. Justru karena statistika dan ekonometrika merupakan alat analisis yang menjadi bagian dari metode penelitian, yang harus diajarkan terlebih dahulu adalah metode penelitian.
Kesalahan-kesalahan kurikulum yang terjadi sebenarnya memiliki pola umum yaitu gagalnya memberikan gambaran umum (big picture) sebelum menyampaikan gambaran yang lebih detail (small but more detailed picture) yang berimbas pada kesulitan dalam mengaitkan gambaran detail satu sama lain. Mengapa gambaran umum penting? Sebab gambaran umum adalah pijakan awal untuk melakukan zooming in ke gambar yang lebih detail. Analoginya seperti berikut ini. Jika pembaca ingin mempelajari seluk-beluk jalan di Kota Yogyakarta dengan waktu yang terbatas, menggunakan peta adalah cara yang tepat. Sebab, meskipun peta tersebut mungkin tidak menampilkan gang-gang kecil, kita akan selalu punya panduan arah jika kita tersesat, dengan syarat kita mengetahui posisi kita saat ini. Begitu pula dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Jika kita suatu saat kita kebingungan tentang apa yang sebenarnya kita pelajari mengenai konsep tertentu, kita selalu bisa sejenak melangkah mundur untuk melihat gambaran besarnya.
Semakin luas cakupan big picture, semakin mudah pula kita mengaitkan konsep yang jauh dari konsep yang kita ketahui detail saat ini. Hal inilah yang dapat menjadi solusi agar mahasiswa tidak terkotak-kotak pada jurusannya masing-masing sehingga berpikiran sempit dan bahkan memandang rendah pengetahuan dari jurusan lainnya. Oleh karena itu, menurut saya, kuliah semester pertama tidak seharusnya langsung memberikan pengetahuan yang spesifik pada jurusan tertentu. Bahkan, jika memungkinkan, setiap cluster pengetahuan (seperti sosial humaniora, sains, dan lain sebagainya) masing-masing memiliki kuliah pengantar yang seragam. Pengetahuan-pengetahuan fundamental yang dapat dijadikan pengantar ini antara lain logika, bahasa, seni, etika (termasuk pula agama) dan filsafat ilmu. Saya yakin banyak yang meremehkan pengetahuan-pengetahuan yang telah saya sebutkan. Namun, kita meremehkan hal tersebut justru karena kita gagal melihatnya sebagai bagian dari atau sebuah gambaran besar itu sendiri.
Problem mengenai cara belajar sebenarnya juga tidak berbeda dengan permasalahan di atas. Dipicu oleh cara penyampaian yang keliru, mahasiswa akhirnya mengulangi kesalahan yang sama. Lagi-lagi fokus pada gambaran detail yang bersifat teknis menjadikan mahasiswa abai terhadap gambaran umum.
Berapa banyak mahasiswa yang meluangkan waktu untuk sejenak membaca dengan saksama introduksi dari sebuah bab atau bab pengantar dari sebuah buku teks? Saya kira tidak banyak. Padahal, mayoritas penulis buku teks sebenarnya telah sangat berbaik hati memberikan big picture pada bagian tersebut. Bab pengantar dari sebuah buku teks umumnya menjelaskan tentang apa yang akan kita pelajari di buku itu, mengapa kita mempelajarinya, dan bahkan kadang juga bagaimana hal tersebut berhubungan dengan hal lainnya.. Sayangnya, banyak mahasiswa yang dengan terburu-buru langsung melompat ke bagian yang mereka anggap penting.
Nasib serupa dialami ketika kuliah perdana. Karena mungkin dianggap ‘belum masuk ke materi’, ia sering tidak digubris. Dengan alasan kontrak yang belum disepakati, mahasiswa juga membiasakan diri untuk datang terlambat. Padahal, kuliah perdana adalah kuliah yang penting atau bahkan terpenting. Pada kuliah perdana (seharusnya) dosen mampu mengajak mahasiswa untuk menempatkan mata kuliah itu dalam konteks big picture. Ketika kuliah perdana berhasil, tidak akan ada pertanyaan semacam, “Ngapain belajar matkul ini?” atau “Kita sebenernya belajar apa sih?” pada kuliah-kuliah selanjutnya.
Ketika konsep pembelajaran berbasis big picture ini berjalan, saya yakin setidaknya tingkat gagal paham mahasiswa akan berkurang. Selain itu, jangan lupa bawa peta sebelum menyusuri jalan tikus di Kota Yogyakarta!
Discussion about this post