/aɡəθə(ʊ)ˌkakəˈlɒdʒɪkl/ composed of both good and evil
Pintu flat dua lantai di ujung gang sepi itu berderit nyaring, memecah sunyi dini hari. Pria muda beruban itu enggan peduli untuk menutup pintu dan bergegas ke kamarnya. Sekujur tubuhnya letih, aroma busuk bangkai dan darah menguar dari tiap inci pakaiannya dan ia tahu ia harus membasuhnya. Tapi ia tidak menggubris penampilannya yang lusuh. Toh, lima atau sepuluh menit lagi, ia yakin istirahatnya akan diganggu oleh dering telepon yang ia benci.
Dering itu pun mengusik telinganya sebelas menit kemudian. Ajaib. Istirahatnya kali ini agak lama dari biasanya.
Sambil berdecak sebal, ia mengangkat panggilan tersebut, “Ini X,” suara familiar yang disamarkan dengan mesin itu menyapanya, “apa aku bicara dengan Allan?”
Pria muda itu mendengus, “Bukan, ini Edgar.”
Suara di seberang terdiam beberapa detik, “Baik, ada yang harus kau angkut di Distrik Lima.”
Edgar memutus sambungan, bangkit dari rebahannya, dan menyambar kunci mobil pick up serta menyeret langkahnya yang berat ke luar. Saatnya kembali bekerja.
.
Distrik Lima terkenal di kalangan pengumpul jasad karena sedang dijerat konflik berdarah antara dua kubu—pro pemerintah dan teroris yang ingin mengkudeta. Kawasan yang paling subur tanahnya itu kini menjadi medan peperangan yang tandus. Ada banyak jasad korban yang gugur untuk diangkut. Dalam sehari, ada sekitar enam sampai lima belas jasad yang harus diangkut ke rumah sakit pusat. Edgar, putus asa dengan mimpinya menjadi diplomat, beralih menjadi pengangkut jenazah untuk imbalan sembilan dolar per jamnya.
Mengarungi bisnis semencurigakan ini bukanlah perjalanan yang mulus. Ketika Edgar ditawari oleh pria misterius yang identitasnya hanya sebatas huruf X saja enam bulan yang lalu, ia tahu kematian akan menjadi satu-satunya teman . Aroma busuk, tubuh yang terdislokasi, pemandangan menyedihkan yang menggambarkan ulah manusia. Homo homini lupus. Sejatinya manusia lebih bertindak layaknya binatang buas ketimbang binatang itu sendiri. Demi mengenyangkan perutnya, Edgar sudah membulatkan tekad, mengimunkan diri dari segala risiko pekerjaannya.
Dari kaca depan pick upnya yang rongsok, ia dapat melihat deretan bangunan runtuh dan asap yang mengebul bagai erupsi gunung. Perbatasan Distrik Lima dijaga ketat oleh pihak teroris yang menduduki tiga perempat area tersebut seminggu yang lalu. Dengan secarik kartu pengenal, mobil Edgar dibiarkan lolos.
“Kau tahu aku benci melihatmu melakukan ini,” sebuah suara memekik. Bila Edgar terkejut, ia takkan menampakkannya di wajahnya yang kaku. Namun setelahnya ia geram. Suara itu bahkan lebih dibencinya daripada suara robotik bosnya, X, yang memuakkan. “Badanmu lelah, rasanya ingin berhenti saja. Tapi kenapa tetap kau lanjutkan?”
“Tidurlah, Allan. Jangan keluar sekarang. Aku tidak punya waktu menggubrismu.” Edgar memarkir mobilnya di dekat apa yang nampaknya seperti lapangan basket, lalu mengenakan peralatannya.
Allan kembali berceloteh. “Kau muak melihat pemandangan yang kau lihat setiap hari. Kau benci peperangan. Kau benci penindasan. Tapi lihatlah dirimu, menjadi kaki tangan mereka. Kau tidak bisa seperti ini terus.”
“Oh, ya? Apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Karena aku adalah dirimu.” Allan tahu Edgar paling benci dengan kalimat itu. Dari sejuta hal yang Edgar benci, ia paling geram ketika diingatkan bahwa di dalam tubuhnya bersemayam dirinya yang lain yang tak ia inginkan. Allan itu pengganggu, tukang komentar. Ia hampir tak pernah sepaham dengan Edgar, salah satunya adalah soal pekerjaannya. X tahu jika Allan sedang berkunjung, ia takkan mau mengangkut jasad. Maka dari itu kalimat ‘apa aku sedang bicara dengan Allan’ selalu menjadi pembuka tiap konversasi mereka.
“Berisik. Jangan ganggu aku.”
“Kau tahu, Ed? Sebenarnya kau ini orang baik. Aku ingat kau selalu membantu temanmu yang ditindas saat SMA. Kau bercita-cita menjadi pemimpin Dewan Keamanan PBB, supaya tidak ada pertumpahan darah lagi di dunia ini katamu. Agak utopia sih, tapi yang satu itu aku setuju. Dan kau bisa melakukannya.”
“Lupakan mimpi itu dan tidurlah, Allan. Aku serius.” Edgar mengambil kantong plastik hitam seukuran manusia dan mengenakan maskernya yang kotor. Tidak membantu menghalau bau busuk, tapi sudah kebiasaan. Ia keluar dari mobil dan berjalan ke bangunan yang baru digusur paksa, kemungkinan panti asuhan.
“No. Kau berubah, Ed. Semenjak kau tergiur tawaran si X itu. Hatimu yang suci, karena sudah terbiasa melihat perangai manusia yang buas di medan perang, menjadi ternoda. Kau jadi tidak peduli, dengan sekitarmu dan dengan mimpimu. ‘Kita’ harus melakukan sesuatu.”
Edgar menjebol pintu kayu reyot dengan kakinya, lalu masuk ke dalam bangunan runtuh dan meneliti sekitar. “Diamlah. Kita hanya mengumpulkan jasad. Kita dapat uang, kita pulang dengan perut kenyang. Berterimakasihlah padaku.”
Allan terdiam, dan Edgar menghela napas. Ia mendapati dua tubuh tergeletak ditimpa plafon bangunan yang runtuh. Dua jasad anak kecil yang belum sempat melarikan diri ketika bangunan tersebut dihancurkan, kemungkinan. Satu kantong plastik nampaknya cukup. Edgar bergegas menaruh kedua tubuh kaku nan dingin tersebut dalam kantung plastik, merisletingnya, lalu membopongnya keluar dengan tergesa. Sebelum Allan mengomel, pikirnya. Edgar meletakkan kantung plastik di bak belakang mobilnya. Dengan cekatan, ia menyalakan mobilnya dan kembali ke pintu masuk perbatasan menuju rumah sakit yang berjarak lima mil dari posisinya.
Allan tidak terdengar lagi selama perjalanan.

.
“Kau pernah mendengar istilah Sambiki Saru?”
Edgar menguap, jelas masih mengantuk. Ia membiarkan Allan memasak makan malam di hari liburnya—sesuatu yang jarang ia dapatkan sebulan terakhir ini. Sambil setengah sadar ia bergumam, “Pernah tapi lupa.”
“Ada satu sub-istilah yang menarik, Mizaru. Simpelnya, jangan lihat apapun yang jahat, karena bisa saja kejahatan itu dicerna otakmu, masuk dalam sistemmu, dan mengubahmu menjadi jahat juga.”
“Apa hubungannya denganku?”
Allan mematikan kompor dan mengambil mangkuk keramik yang pecah di bagian atasnya, lalu menuangkan sup jamur dari kuali dan menaruhnya dalam mangkuk. “Seperti yang kubilang, Ed. Kau terlalu banyak menyaksikan kejahatan. Jika begini terus, kau akan benar-benar berubah. Apa kau pernah berpikir, dengan mengangkut jasad-jasad korban perang, kau hanya akan mendukung mereka bertindak lebih? Mereka akan berpikir, ‘oh hei, tidak apa membunuh, toh akan ada tukang yang rajin mengangkut korban kita.’ Dengan kata lain, kau menjadi kaki tangan mereka.”
Edgar diam, berpikir, dan menunggu. Ia menunggu Allan menghabiskan porsi makan malamnya sebelum dirinya mengambil alih, dan ia gunakan waktu tersebut untuk merenung. “Kupikir ada yang salah paham di sini. Biar kuluruskan niatku.”
Allan bertanya dengan mulut penuh, “Maksudmu?”
“’To ignore evil is to become accomplice to it.’ Kau tahu apa artinya?” Edgar bertanya meski cara bicaranya tidak jelas karena makanan di mulut Allan yang belum terteguk. Allan tidak menjawab dan sibuk mengunyah, menyulitkan Edgar berbicara juga. “Mengabaikan kejahatan juga tidak selamanya benar, Al. You see, kalau kau sibuk mengurus kebaikan, kau akan lupa bahwa sebenarnya dunia tidak hanya terdiri dari itu saja. Akan selalu ada kejahatan, dan kau tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Kau harus, mau tidak mau, melihat kejahatan itu sendiri.”
“Tapi, Ed—“
“Diam, aku belum selesai,” Edgar memotong, “Begini, berbuat kebaikan pada dasarnya adalah untuk memperbaiki dunia yang mulai rusak sedikit demi sedikit. Tapi jika tidak ada kejahatan, tidak ada yang bisa diperbaiki, dan kau tidak bisa berbuat baik. Mengerti maksudku?”
“Kau punya perspektif yang aneh, Ed. Tapi, ya, aku paham.” Edgar bisa merasakan Allan memutar bola matanya, seolah paham betul dengan jalan pikiran Edgar yang kadang agak berbeda dengan orang lain.
“Seperti kata Sun Tzu, kenali lawanmu dan kenali dirimu, maka kau akan menang seribu peperangan. Apa yang kulakukan selama ini adalah hal yang pertama.” Edgar melanjutkan, mulai tak sabar dengan gerakan lambat Allan dalam mengunyah makanan. “Selama kau menghadapi kejahatan dengan kepala dingin dan prinsip yang kuat, mana mungkin akan terpengaruh semudah itu, ‘kan?”
“Wait, jadi…?”
“Hm.” Edgar bergumam, sedikit menggerutu. “Kalau sudah mengerti, cepat habiskan makanmu. Aku lapar.” Allan merasakan Edgar menghentakkan kakinya di lantai, tak sabar untuk mengambil alih.
“Tunggu, tunggu! Jadi selama ini maksudmu seperti itu? Licik kau, beraninya membuatku khawatir setiap hari!” Allan tiba-tiba menggebrak meja, tampak tersinggung dan kecewa, sekaligus lega.
“Sudah kubilang tidak usah ikut campur. Kau hanya bikin pusing.”
“Aku tidak percaya selama ini kau menjadi semacam grave digger untuk mengenali lebih dalam seluk beluk perang. Dan uang itu! Astaga, sekarang aku tidak komplain, Ed. Uang dari X lumayan untuk makan enak.”
“Jangan berharap. Itu tabungan untukku melanjutkan studi, kau tahu. Aku tidak lupa dengan mimpiku.”
Allan terkesiap dan detik itu juga ia berharap ia memiliki badan sendiri untuk memeluk Edgar, karena, hei, memeluk dirimu sendiri di meja makan terlihat cukup aneh, bukan? Maka yang setidaknya bisa dilakukan Allan adalah menangis sesegukan, yang mana dibenci Edgar karena ia akan dipaksa merasakan air mata juga.
“Aku tidak mengerti kenapa selama ini kau mendorongku menjauh. Edgar Allan Poe, kau ini baik tapi, sikapmu tsundere.” Allan mengusap air matanya, tersenyum, “Ok, makanlah. Aku sudah selesai. Sisa porsiku untukmu saja.”
Edgar mendengus dan tanpa basa basi lagi ia mengambil alih. Ketika ia bersiap menyantap makanannya, ia teringat sesuatu. “Wait, apa itu tsundere?”
.
tamat
(Brilly/EQ)
Discussion about this post